GAGASAN
Permasalahan Perlindungan Lingkungan Hidup
Oleh: Roy Priyadi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi. Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Ada suatu pemikiran bahwa penegakkan hukum selalu dilakukan dengan paksaan sehingga cendrung menggiring pada opini bahwa penegakkan hukum hanya bersifat refresif saja. Karena itu, ada alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sebagai contoh, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Permasalahan dalam pertanggungjawaban perdata lingkungan terdiri atas perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13653 Kitab UU Hukum Perdata (KUHPerdata), dan penerapan prinsip strict liability (tanggung jawab mutlak) yang diatur dalam ketentuan Pasal 884 UUPPLH. Selain itu diatur pula mengenai penghitungan ganti kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang didasarkan pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan (Permen KLH 13/2011) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Badan hukum yang melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup bertanggung jawab untuk mengganti kerugian bagi korban pencemaran lingkungan. Kewajiban restitusi bagi korban pencemaran ini tertuang dalam pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas jo pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan. Kerugian ini dibuktikan melalui gugatan perdata di pengadilan negeri yang berwenang mengadili sengketa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pencemaran seperti contoh dalam kasus PT Medco Malaka sebagai perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas dalam aktivitasnya memberikan dampak negatif. Misalnya kebocoran gas, pencemaran limbah dan bau busuk sehingga berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. PT Medco Malaka harus memberikan tanggung jawabnya yaitu melalui program CSR pencemaran.
Menghadapi perusahaan yang menyebabkan pencemaran lingkungan seperti oleh PT Medco yang ada di Kabupaten Aceh Timur, ternyata banyak kendala yang dihadapi seperti adanya orang-orang pemerintah pusat mau pun daerah yang melindungi perusahaan tersebut dari aturan hukum yang telah ditetapkan. Padahal PT Medco Malaka selalu mengabaikan prinsip-prinsip yang telah disepakati antara pihak pemerintah daerah maupun perusahaan. Pemerintah seharusnya dalam menegakkan hukum harus bijak dan tidak tumpang tindih agar terwujud perlindungan dan keadilan. Dari sisi hukum perdata, pencemaran atau perusak lingkungan wajib membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu (Pasal 87 UU-PPLH 2009).
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Roy Priyadi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.