GAGASAN
Anak yang Diduga Pelaku Tindak Pidana Terorisme Sejatinya Korban
Oleh: Rachel Nabila, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
Banyak anak yang menjadi korban tindak pidana terorisme. Baik sebagai korban, bahkan ada yang ikut menjadi pelaku. Adapula sebagai anak pelaku terorisme, maupun sebagai anak korban terorisme.
Khusus anak yang diduga menjadi pelaku terorisme, salah satu faktornya adalah karena memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi dan rentan pada pengaruh. Disebutkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2002 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (UU Pemberantasan Terorisme) bahwa ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana terorime adalah pidana mati/seumur hidup.
Ancaman pidana bagi anak yang diduga ikut terlibat tindak pidana terorisme seharusnya tidak diancamkan tindak pidana. Sebab anak pelaku terorisme sejatinya korban dari kejahatan. Seharusnya mereka diberi perlindungan. Bukan sebaliknya, diadili dan dipenjara. Sebab bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Anak korban terorisme harus dilakukan edukasi pendidikan, ideologi, dan nasionalisme, konseling bahaya terorisme, rehabilitasi dan pendampingan sosial. Anak yang terlibat terorisme diperlukan tindakan khusus oleh negara.
Undang-Undang memberikan perlindungan kepada anak untuk menggunakan hak-haknya. Anak-anak dinilai belum cakap menggunakan haknya. Pasal 59A UUPA juga menjabarkan langkah-langkah khusus untuk perlindungan anak, dilakukan melalui upaya penanganan yang cepat termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi fisik, psikologis, dan sosial.
Diperlukan tindakan pencegahan untuk mengatasi masalah kesehatan, penyediaan dukungan psikososial selama proses pemulihan, bantuan layanan sosial untuk anak-anak, dan memastikan perlindungan dan dukungan selama proses hukum. Sesuai UUPA anak adalah yang berusia di bawah delapan beleras tahun, termasuk anak masih dalam kandungan.
Hak – hak anak, khususnya yang berkaitan dengan terorisme, disebutkan dalam pasal:
Disebutkan dalam Pasal 13 UUPA ayat (1): Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali atau pihak manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. diskiriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
e. ketidakadilan;
f. perlakuan salah lainnya.
Anak yang melakukan tindak pidana terorisme tidak dapat dipidana. Jika mereka menjalani proses hukum, hukuman harus melibatkan rehabilitasi atau tindakan lain yang sesuai, dan mereka tidak boleh diperlakukan sebagai pelaku. Peraturan tersebut menyatakan bahwa tanggung jawab penghukuman anak-anak tersebut terletak pada orang tuanya atau orang lain yang melibatkan mereka.
Tindak pidana terorisme termasuk tindak pidana khusus. Indonesia menganut double system dalam sistem hukum pidana. Ada hukum pidana umum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana khusus yang adalah Undang-undang yang secara khusus mengatur hukum pidana di luar KUHP.
Sedangkan tindak pidana khusus yaitu tindak pidana orang-orang tertentu, contohnya tindak pidana terorisme. Terorisme yaitu perbuatan atau tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan adanya teror meneror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban massal atau kerusakan dan gangguan keamanan.
Disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia wajib melindungi segenap Bangsa Indonesia dengan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara wajib melindungi wara negara dari pelaku dan ancaman terorisme. Pelaku kejahatan tindak pidana terorisme sudah berada di tahap mengkhawatirkan. Pelaku tindak pidana terorisme ini bukan hanya orang dewasa, tetapi mereka juga melibatkan remaja dan anak-anak.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Rachel Nabila, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.