GAGASAN
Perempuan; Diantara Genosida dan Femisida
Oleh : Kanti Rahayu, SH. MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Dalam konteks perbandingan fisik dengan laki-laki, perempuan memang merupakan subjek yang dipandang lemah dan umumnya rawan menjadi korban berbagai macam tindak kejahatan.
Dalam konsteks perlindungan hukum, baik nasional maupun internasional telah mencreate berbagai regulasi untuk melindungi perempuan agar tidak menjadi objek kekerasan dengan jenis apapun baik fisik maupun psikis.
Hukum Internasional telah melahirkan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) mengenai penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan sejak Tahun 1979. Bahkan konvensi ini juga telag diratifikasi oleh Indonesia sejak Tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Fakta sejarah mencatat begitu banyak bukti bahwa perempuan hampir selalu menjadi korban dalam jumlah yang banyak atas hadirnya kebijakan politik dan hukum yang tidak berpihak pada hak-hak perempuan.
CEDAW telah mengamanatkan beberapa prinsip penting dalam upayanya melindungi hak-hak perempuan dari tindakan marginalisasi yang dilakukan oleh oknum laki-laki, yakni menyatakan bahwa perempuan juga memiliki hak asasi sebagai manusia, bahwa negara harus menghapuskan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan, bahwa perempuan dan laki-laki equal dihadapan hukum, perempuan memiliki kebebasan berpendapat dan berekspresi serta perempuan berhak menentukan arah hidupnya sendiri.
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peraturan Presiden (Perpres) 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Namun semua aturan itu seolah tidak mampu menekan jatuhnya korban perempuan dalam berbagai bentuk kekerasan dan kejahatan, hanya karena dirinya adalah PEREMPUAN.
CEDAW sejauh ini telah diratifikasi oleh 189 negara sejak tahun 1981 tetapi juga tidak mampu menghalau aksi Israel melakukan genosida terhadap perempuan dan anak-anak perempuan Palestina.
PBB bahkan telah mencatat bahwa sejumlah 8.119 jiwa atau sekitar 70% dari korban serangan tentara Israel di berbagai wilayah Palestina adalah perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjata.
Lain cerita di Indonesia, jendela informasi dihiasi dengan berbagai berita femisida yang semakin meningkat setahun terakhir, dimana tidak kejahatan sengaja menyasar perempuan sebagai korban karena jenis kelaminnya PEREMPUAN.
Sebuah fakta pahit apabila ini merupakan bukti bahwa perempuan tak dapat melepaskan dirinya dari sitem sosial yang begitu patriarki sehingga perempuan dapat menjadi korban bahkan didalam rumahnya sendiri yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi dirinya.
Kasus suami menikam istri di Sumatera Utara hanya karena melihat istri sedang bernyanyi live di media sosial. Kasus pemerkosaan dan pembunuhan gadis penjual gorengan di Sumatera Barat ternyata karena pelaku telah cukup lama berniat ingin menyetubuhi korban. Fakta-fakta ini seolah menunjukkan bahwa anggapan dan pola pikir laki-laki terhadap perempuan sebagai objek seksual tidak akan pernah benar-benar sepenuhnya dapat dikendalikan oleh hukum.
Satu-satunya alasan mengapa perempuan cenderung menjadi korban adalah karena anggapan bahwa perempuan lemah secara fisik dan memiliki keterbatasan lahiriah yg tidak dimiliki laki-laki. Kejahatan model ini disebut sebagai femisida yakni sebuah kejahatan kebencian yang berbasis pada jenis kelamin.
Diana E. H mendefinisikan femisida sebagai bentuk pembunuhan intensional terhadap kaum perempuan hanya karena mereka adalah perempuan. Sehingga dapat membuat perempuan semakin terjebak dalam situasi yang mengancam jiwanya baik karena kebijakan negara, situasi peperangan bahkan dalam rumah tangga dan relasinya dengan pasangan/suami dan anak-anak.
Seharusnya negara tidak boleh memberi alasan apapun pada pelaku femisida. Begitu juga dengan genosida yang notabene pelakunya justru negara. Perempuan harus mendapatkan perlindungan hukum apapun situasinya sehingga tidak menjadikannya sebagai korban genosida maupun femisida hanya karena dirinya terlahir sebagai perempuan.
Kanti Rahayu, SH. MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal