Penulis Buku “Perlindungan Hukum terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum”
Oleh : Dinar Mahardika, SH. MH.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Tidak semua korban pemerkosaan berani melapor, bahkan untuk berteriak minta tolong pun tak mampu. Tabu, malu, dan takut beraduk menjadi satu. Kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan ini bagai gunung es. Tak sampai di situ, seringkali perempuan yang kebanyakan menjadi korban justru ikut disalahkan juga.
Di dunia yang masih patriarki ini, kasus perkosaan sering dilihat dari kacamata pembenaran laki-laki. Beragam realita itulah yang membuat Dinar Mahardika bersuara lantang melalui buku karyanya sendiri berjudul “Perlindungan Hukum terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum”. Dinar sumbangkan ide dan pemikirannya ke dalam buku, sesuai dengan keilmuan yang ia pelajari sejauh ini.”Itulah alasan, kenapa saya nulis buku soal kasus perkosaan. Saya memang bukan korban ataupun pelaku, namun saya perempuan yang dituntut harus peka kepada sesama. Saya tidak pernah mengalami, tapi saya sering melihat fenomena ini. Bayangkan, mereka para korban sudah jatuh (diperkosa) masih harus tertimpa tangga karena disalahkan juga,” ungkap dara berusia 26 tahun itu.
Dari buku yang baru terbit belum lama ini, Dinar ingin menegaskan bahwa korban seharusnya bukan untuk disalahkan, melainkan harus dilindungi. Buku ini, tambah Dinar, ingin menjelaskan bahwa masih begitu banyak ketimpangan hukum untuk para perempuan. Bahkan, sepengetahuan Dinar belum ada payung hukum yang mengatur secara komprehensif, mulai dari beragam bentuk kekerasan seksual sekaligus perlindungan hak-hak terhadap korban. Seringnya, hak tersebut terabaikan.
Dinar yang merupakan Dosen Ahli Hukum Pidana ini tak lupa juga menyoroti rumitnya birokrasi dari kepolisian dalam pembuktian korban kekerasan seksual di bukunya. Hal itu tentu membuat para perempuan korban kekerasan memilih tak melapor. Belum lagi jika tersangkanya kebanyakan didominasi orang terdekat korban, membuat korban kian bungkam. Namun ketika dibawa ke ranah hukum, biasanya malah diselesaikan secara kekeluargaan. Itu bukan solusi.Korban trauma Menurut warga Pangkah, Kabupaten Tegal ini, mental aparat hukum yang tidak sensitif gender justru bisa membuat korban trauma. Misalnya, ketika penyusunan laporan awal kepolisian, seringkali korban ditanyai mengenai pakaian apa yang dikenakan. Dia menilai, pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan tersebut justru semakin melemahkan psikis korban. Belum lagi korban harus melalui proses pembuktian yang berbelat-belit dan lama.”Selama tidak ada bukti penetrasi, maka kasus kekerasan seksual pun sangat sulit diproses.
Dari sini, kita bisa mendapat gambaran bagaimana realita penanganan kasus kekerasaan seksual di Indonesia dalam menangani kasus, mulai dari cara pemeriksaan dan saat menginterograsi korban malah membuat korban semakin berada di posisi rumit. Tak jarang bahkan ikut menyalahkan korban. Dari buku ini, kita belajar dari berbagai kisah korban kekerasaan. Kekerasan seksual itu merupakan pidana khusus dan berbeda dengan tindak pidana lain, sehingga memerlukan aturan serta mekanisme penanganan yang khusus. termasuk pemberian sanksi kepada pelaku dengan penjeraan yang khusus,” papar dosen yang kini mengajar di dua kampus sekaligus itu.
Lulusan Magister Hukum Pidana Undip ini menguraikan, buku setebal 144 halaman dan berkover warna merah muda itu disusun oleh Dinar selama enam bulan dengan dibantu satu rekannya. Sebenarnya, Dinar dalam menyusun buku ini benar-benar tak pernah memiliki waktu luang, mengingat ia harus mengajar di dua kampus yakni, Universitas Pancasakti Tegal dan Universitas Sang Bumu Ruwa Jurai Lampung.Maka dari itu, ke mana pun Dinar pergi selalu tak lupa membawa laptop. Meski sering sibuk, ia mengaku tak mengalami kesulitan dalam mencari data. Sebab, Dinar memiliki rekan yang ahli dalam mencari data. Rekannya yang ikut terlibat dalam penulisan buku ini bernama Erwin Aditya. Rekannya ini pernah bekerja di pusat perlindungan terpadu Kabupaten Tegal sehingga tak begitu susah dalam menghimpun data.”Kesulitan buat buku ini pasti ada. Di tambah saya wanita yg pasti akan lebih sulit mengatur emosi. Apalagi ketika harus berhadapan dengan korban.
Saya merasakan prihatin dengan korban kekerasan seksual, terutama anak kecil dan remaja. Saya memikirkan bagaimana masa depan mereka bila mereka masih mengalami trauma, depresi yang membuat jiwa mereka mengalami gangguan. Jadi, ini membuat saya berfikir keras bagaimana supaya buku saya ini bisa membantu dan berkontribusi untuk para korban kekerasaan seksual di luar sana,” pungkas perempuan penyuka buku-buku psikologi ini.