Optimalisasi POLRI dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid 19 Oleh: Ade Faizal, Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Optimalisasi POLRI dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid 19

Oleh: Ade Faizal, Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Kekerasan seksual merupakan kasus yang cukup marak terjadi di mana dan kapan saja. Semua orang memiliki potensi menjadi korban pelaku kekerasan seksual, bahkan berdasarkan pengalaman penulis pada umumnya yang menjadi pelaku adalah keluarga atau orang-orang terdekat korban. Kekerasan seksual adalah setiap tindakan, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki.

Permasalahan ini merupakan permasalahan multi sektoral, sehingga layanan perempuan dan anak korban kekerasan harus diberikan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari pelaporan hingga penyelesaian kasusnya. Bahkan masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar hukum. Hal ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya masyarakat hidup dalam budaya patriarki sehingga mudah memberikan stigma terhadap korban kekerasan seksual membuat para korban enggan melapor. Bahkan di masa Pandemi Covid-19 yang menuntut semua orang untuk berada di rumah saja, termasuk bekerja atau juga disebut work from home (WFH).

Kondisi itu ternyata juga membuat kekerasan berbasis gender online (KBGO) meningkat. Kekerasan seperti pelecehan seksual yang biasanya terjadi di ruang publik secara langsung kini berpindah menjadi kekerasan online. Bentuk pelecehan seksual yang paling banyak diterima saat WFH adalah menerima candaan atau lelucon seksual, dikirimi konten seksual tanpa persetujuan menerima hinaan bentuk fisik, menerima rayuan seksual tanpa persetujuan, dan digosipkan tentang perilaku seksual yang tidak relevan dengan pekerjaan.

Kebanyakan para korban pelecehan seksual saat WFH adalah 55 persen perempuan dan 79 persen laki-laki hanya diam dan tidak tahu harus berbuat apa. Hanya 11 persen perempuan dan 5 persen laki-laki yang mendokumentasikan kejadian tersebut. Padahal, sangat penting untuk mendokumentasikan kejadian saat terjadi pelecehan seksual secara online. Misalnya dengan mencatat kronologis, memotret, mengambil screenshot, atau merekam bukti-bukti kejadian. Ini dapat menjadi alat bukti yang sah jika dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

Seperti yang kita tahu POLRI merupakan garda terdepan dalam upaya memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak yang merupakan penentu awal akses perempuan korban pada keadilan. Berbagai upaya dan langkah progresif tentunya telah dilakukan. Kemajuannya ditandai dengan sikap proaktif kepolisian dalam mengusut kasus kekerasan terhadap perempuan. Sikap proaktif kepolisian dalam mengusut kasus kekerasan terhadap perempuan, perlu diapresiasi. Tetapi Di tengah kemajuan ini, sepanjang tahun 2020 semakin beragamnya modus operasi dan kasus yang terjadi kita harus terus bergerak bersama dari hulu sampai ke hilir.

Artinya dengan memastikan adanya mekanisme penanganan yang komprehensif dari akar masalah sampai korban mendapatkan keadilan dan pelaku menjadi jera. ā€¯Kompleksitasnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak membuat keberadaan Unit PPA sangat penting. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) merupakan unit yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Agar dapat mencapai pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang maksimal.Kepolisian memiliki prosedur khusus karena proses pencegahan dan pemberantasan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak tentu berbeda penangannya dengan orang dewasa karena penanganan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Tindak kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik melainkan juga perbuatan non fisik (psikis). Tindakan fisik secara langsung bisa dirasakan akibatnya langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja, sedangkan tindakan non fisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah korban, karena tindakan tersebut langsung berkaitan menyinggung hati nurani atau perasaan seseorang.Sedangkan hak korban kekerasan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu:

a) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum; dan

e) Pelayanan bimbingan rohani.Dengan demikian, di perlukan juga support system untuk membantu para korban sekaligus pencegahan bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Karena kekerasan seksual tidak hanya merugikan korban. Akan tetapi keluarga dan masyarakat juga menderita kerugian karena timbul rasa tidak aman, turunnya produktivitas masyarakat, serta ongkos proses kasus dan biaya pemulihan yang harus dikeluarkan. Semoga POLRI Presisi melalui optimalisasi terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, semakin membawa perubahan yang positif dan dapat menguatkan keadilan pada korban kasus pelecehan seksual.

*Dikutip dari berbagai sumberOleh: Ade Faizal, Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

https://baladena.id/optimalisasi-polri-dalam-penanganan…/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *