GAGASAN
Mengurangi Timbangan: Belajar Korupsi Kecil-kecilan
Oleh: Nurul Arifatul Zania, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Benih-benih korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja. Termasuk oleh “orang kecil”. Budaya mengurangi timbangan yang marak dilakukan oleh pedagang kecil merupakan kecurangan sekaligus sebagai bibit korupsi. Bagaimana kalau pedagang kecil yang biasa berbuat curang dengan mengurangi timbangan punya kesempatan menjadi pengusaha besar ataupun menjadi pejabat yang mengelola anggaran?
Dahulu, para pedagang “kecil” umumnya menggunakan timbangan plastik. Seiring berkembangan teknologi, timbangan plastik digantikan timbangan besi ataupun timbangan digital. Timbangan besi merupakan timbangan manual yang memiliki prinsip mekanik dan pengandalkan pegas. Sedangkan timbangan digital yaitu jenis timbangan yang bekerja secara elektronis dengan tenaga listrik. Timbangan ini menggunakan arus lemah dan indikatornya berupa angka digital pada layar bacaan.
Baik timbangan plaktik, besi hingga digital, semuanya dapat dimanipulasi oleh pedagang nakal. Banyak keluhan masyaraka konsumen yang merasa dirugikan oleh pedagang nakal yang mengurangi timbangan. Umumnya terjadi di pasar tradisional.
Mengurangi timbangan jelas melanggar hukum, sebagai tindakan curang ataupun menipu. Banyak peraturan yang sudah mengatur soal kecurangan timbangan beserta rincian sanksinya. Bahkan ada Undang-undang khusus yang mengatur, yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Meteologi, Pasal 27 ayat 1 serta pasal 30. Pasal 27 ayat 1 berbunyi “ dilarang memasang alat ukur, alat petunjuk atau alat lainnya sebagai tambahan pada alat-alat ukur,takar atau timbangan yang sudah ditera atau yang sudah ditera ulang”. Pasal 30 menyebutkan: “dilarang menjual, menawarkan untuk di beli, atau memperdagangkan dengan cara apapun juga, semua barang ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya”.
Ancaman pidana bagi pemilik alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang tidak bertera bisa pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan atau denda setinggi tingginya sebesar Rp. 1 juta. Pidana tersebut berlaku pula bagi pedagang yang memasang alat ukur, alat petunjuk atau alat lainnya sebagai tambahan pada alat alat ukur, takar atau timbangan yang sudah ditera atau yang sudah ditera ulang. Selain itu, juga berlaku bagi pedagang yang mengubah atau menambah alat alat ukur, Takar atau timbang yang sudah di tera atau yang sudah ditera ulang. Dengan banyaknya pasal yang mengatur tentang perlindungan konsumen, masih berani menggunakan timbangan yang di modifikasi.
Adanya oknum pedagang yang berbuat curang dengan melakukan pengurangan timbangan tentu menyedihkan. Masyarakat perlu hati-hati. Supaya tidak tertipu dengan kelakuan curang oknum para pedagang, perlu memperhatikan timbangannya atau bisa juga dengan menimbangnya kembali untuk memastikan kebenaran timbangannya. Jangan sampai terkena ulah curang para pedagang.
Perlu diperhatikan, sebenarnya timbangan dapat dicermati apatkah akurat atau tidak dengan pemasangan stiker tera MCM yang berwarna hijau. Stiker tera tersebut biasanya ditempelkan di bagian depan alat timbangan. Selain itu, MCM juga menuliskan masa berlaku alat timbangan untuk dipakai berjualan. Cara ini cukup memudahkan konsumen untuk mengetahui alat timbangan yang dipakai penjual sudah benar dan akurat.
Masyarakat konsumen agar menjadi konsumen cerdas dengan memerhatikan alat timbangan yang digunakan pedagang. Selalu periksa apakah alat timbangan pedagang ada label atau stiker tera resmi atau tidak. Dengan demikian, konsumen bisa berbelanja barang dengan aman dan nyaman.Oleh: Nurul Arifatul Zania, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal