GAGASAN
SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 VERSI KEPRES NO. 2 TAHUN 2022: ANTARA DESOEHARTOISASI DAN SOEHARTOISME
Oleh: Dr. Moh. Taufik, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Sejarah atau cerita tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 tiba-tiba menjadi perbincangan hangat di masyarakat , bermula saat keluar Keppres Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Isi Keputusan Presiden tersebut berisi empat konsideran ,dimana salah satu konsideran didalamnya berisi pernyataan bahwa Serangan Umum ( SU ) 1 Maret 1949 di gagas oleh Sultan HB IX, diperintahkan oleh Panglima Besar Soedirman, disetujui dan digerakan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh, Hatta. Serangan itu didukung oleh TNI, Polri, rakyat dan segenap komponen bangsa Indonesia.
Konsideran itu menjadi menarik, manakala ada figure yang di tonjolkan dalam Keppress tersebut dan ada tokoh yang dihilangkan. Salah satu yang ramai diperbincangkan , adalah hilangnya nama Jenderal Soeharto dalam tokoh yang terlibat pada SU 1 Maret 1949. Salah satu pejabat Pemerintahan sekarang, Prof. Mahfud MD selaku Menkumham berdalih bahwa tidak dicantumkan beberapa nama tokoh dalam peristiwa tersebut bukan berarti untuk menghilangkan nilai perjuangan tokoh tersebut, akan tetapi beliau beralasan, seperti naskah teks proklamasi , masyarakat hanya mengetahu nama Soekarno Hatta, padahal banyak tokoh yang terlibat didalamnya.
Argumentasi Mahfud MD tidak bisa serta merta diterima, karena terlalu menyederhanakan peran penting tokoh dalam sebuah sejarah besar Langkah Desoehartoisas Dalam otobiografi berjudul Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya ( 1989 ), Soeharto mengklaim SU 1 Maret 1949 merupakan inisiatifnya setelah mendengar perkembangan situasi dari siaran radio luar negeri.
Beliau juga telah mengerahkan pasukan dan memimpin serangan untuk menduduki Yogyakarta selama enam jam. Isi otobiografi ini juga telah menjadi saksi sejarah yang bisa dibaca oleh masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun, baik itu pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat umumnya. Dengan peran besarnya sebagai presiden hampir 5 periode kepemimpinan , Soeharto kemudian mendapat kejelasan perannya didalam SU 1 Maret 1949.
Selain SU 1 Maret 1949 juga dirangkai narasi sejarah dengan peristiwa Supersemar yang kemudian melegitimasikan posisi Soeharto sebagai puncak karir politiknya sebagai seorang Presiden , dengan menggantikan Presiden Soekarno Opini masyarakat terbelah , terkait dengan hilangnya figure Soeharto dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022, terutama bagi masyarakat Indonesia yang berusia 40 tahun keatas, yang hidup dalam era orde baru. Mereka hampir selama 73 tahun meresapi dan mengetahui berbicara SU 1 Maret 1949 pasti berbicara soal figure sentral yang Namanya Soeharto.
Film Janur Kuning menambah memori pada masyarakat untuk mengenal lebih jauh tentang kiprah seorang Soeharto. Tentu hal ini wajar dan tidak menjadi persoalan , karena status sebagai presiden hampir 35 tahun melegitimasikan jatidirinya sebagai ikon politik terkuat sepanjang sejarah politik Indonesia pasca Indonesia merdekaTafsir sejarah memang kental dipengaruhi siapa yang berkuasa di sebuah negara.
Begitupun yang terjadi di Indonesia, seiring jatuhnya Soeharto oleh Gerakan reformasi 1998, upaya untuk mendistorsi peran Soeharto mulai dikikis habis kalau tidak diberangus total. Orde baru kemudian berubah menjadi caci maki, umpatan, sumpah serapah, yang menyebutkan jatuhnya Indonesia ke dalam krisis ekonomi adalah faktor tunggal yang Bernama Soeharto. Beruntung Soeharto tidak dilakukan pengadilan untuk mengadili kejahatan dan ketidakadilan yang pernah dilakukan .
Maka orde baru yang berisi cerita tentang swasembada pangan, keberhasilan Keluarga Berencana dalam mengatur kependudukan Indonesia, dan politik adem ayem dirasakan masyarakat habis tidak berbekas. Bagi kalangan masyarakat yang mendukung Soeharto dianggap sebagai anti reformasi, sehingga tagline Gayang Orde baru menjadi lanskap jatuhnya bendera besar Soeaharto..
Meski Ketika reformasi berjalan lambat dan tidak menuntaskan persoalan bangsa, semakin tinggi nya korupsi di Indonesia, kehidupan demokrasi jalan di tempat, kesejahteraan yang masih jauh dari panggang, upaya atau keinginan untuk Kembali ke zaman Soeharto Kembali hidup Kembali, dengan banyaknya pernyaataan, Piye, enak Zaman Soeharto kan Upaya Soehartoisme Disaat banyak dilakukan upaya untuk mendistorsi peran Soeharto, ada gejala pada titik yang sama, dimana orang banyak yang ingin membangkitkan Kembali Soehartoisme.
Istilahnya Resoehartoisme. Termasuk itu dilakukan oleh pemimpin era sekarang ini, Presiden Jokowi. Salah satu gejala Resoehartoisme itu adalah wacana tentang Jabatan Presiden 3 Periode dan penundaan pelaksaan Pemilu . Menselisiki apa yang ada di dalam UUD 1945 terutama Pasal 1 ayat 2, Pasal 7 , Pasal 22 E yang semestinya Presiden menjabat maksimal 2 Periode, dan pemilihan Umum dilakukan 5 tahun sekaliParadoksial politik nampaknya sedang dipentaskan di negeri ini. Soeharto selama kepemimpinannya berlangsung 5 Periode, dengan durasi waktu lebih dari 25 tahun .
Ini memang sebuah sejarah kelam bagi bangsa, karena keberhasilan yang sudah dilakukan Soeharto, seolah hilang tidak berbekas, dengan keberhasilan semu pembangunan bangsa. Pondasi ekonomi runtuh, akibat politik menjadi panglima dari semua sendi kehidupan. Ekonomi dan politik di monopoli istana, rakyat tidak mendapat porsi yang wajar.
Adanya Normalisasi kehidupan kampus yang membelenggu kebebasan ekspresi mahasiswa, wacana asas tunggal Pancasila, partai politik yang tidak menjadi pilar demokrasi akibat pemimpin yang diatur dan dikendalikan oleh penguasa. Tidak kah hal ini sama dengan yang dirasakan sekarang.
UU ITE yang membatasi kebebasan berpendapat, delegitimasi BEM dengan isyu radikalisme dan terorisme, sehingga kegiatan kritis mahasiswa hilang tidak berbekas, forum rektor yang membeo kepada penguasa, dosen yang kritis dan berbeda pendapat, dipinggirkan perannya.
Kememimpinan nasional seolah di agitasi dan dibuat opini public, bahwa tidak ada figure yang layak mengganti Jokowi. Tidakkah ini suasana yang sama dengan era orde baru, dengan baju yang berbedaBerkaca dengan pemaknaan yang sudah , perlunya membangkitkan kesadaran akan perlu menghargai sejarah dan para tokoh bangsa. Sebelumnya sering terjadi, era Soeharto mendistorsi peran Soekarno, era Reformasi mendistorsi peran Soeharto, dan era Jokowi mendistori peran SBY dan Soeharto.
Dengan kondisi sperti itu negara selalu berjalan dimulai dari titik nol. Semestinya kepemimpinan nasional bersifat estafet, melanjutkan proses pembangunan yang sudah dibuat sebelumnya, sehingga tujuan dan arah pembangunan jelas dan terarah.Keberhasilan Jokowi adalah sebuah rangkain yang berasal dari keberhasilan pemimpin pemimpin sebelumnya.
Maka terhadap pemaknaan serangan Umum 1 maret 1949 ini, tidak perlu menonjolkan siapa figure yang sentral,karena seringkali tafsir subyektif yang muncul, bahkan cenderung tafsir sejarah ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Keteladanan, semangat perjuangan , dan jiwa kepemimpinan yang patriotik adalah nilai nilai yang perlu ditonjolkan kepada generasi mendatang, supaya bisa menjadi bangsa yang besar.
Karena sesungguhnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan yang tanpa pamrih. Seperti pernah dikatakan Goerge Washington, Jika Pemimpin tidak memberikan keteladanan kepada masyarkatnya , mau dibawa kemana masa depan sebuah negara ini ?
*Dikutip dari berbagai sumber
Oleh: Dr. Moh. Taufik, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal