GAGASAN
PRINSIP PEMBEDAAN PENDUDUK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA
Oleh: Kanti Rahayu, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti
Perang merupakan peristiwa pertikaian yang telah banyak mewarnai perjalanan hidup manusia dimuka bumi bahkan bila dibandingkan dengan masa damai yang dijalani, justru situasi perang memiliki lebih banyak prosentasenya. Seolah telah menjadi fitrahnya, suatu keadaan konflik lebih mudah untuk dimulai daripada mengakhirinya. Oleh sebab itu, pantaslah jika diungkapkan bahwa peperangan sesungguhnya hanya akan lebih banyak mendatangkan penderitaan daripada kebahagiaan bagi umat manusia. Namun, lebih dari itu banyak juga pihak yang merasa bahwa perang merupakan cara untuk mempertahankan eksistensi diri bila dipaksa oleh keadaan. Terlepas dari persepsi-persepsi tersebut, ada satu hal yang harus diingat bahwa peperangan seringkali adalah karena kepentingan penguasa bukan kepentingan rakyat dan dalam situasi perang pihak yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat. Hal ini yang terkadang tidak disadari oleh penguasa.
Cukuplah semestinya peperangan-peperangan besar yang pernah terjadi menjadi pelajaran bagi dunia bahwa menciptakan tatanan dunia yang damai jauh lebih berharga daripada menciptakan situasi perang. Namun faktanya memang tidak semudah menguraikan kalimat, setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II, kini masyarakat internasional diributkan dengan ancaman terjadinya Perang Dunia ke III sejak Rusia memutuskan untuk melancarkan agresi militernya kepada Ukraina. Meski konflik antara Rusia dan Ukraina yang baru dimulai pada Februari 2022 bukanlah satu-satunya konflik bersenjata yang mewarnai tatanan dunia modern saat ini. Dibelakangnya juga banyak situasi-situasi konflik bersenjata yang telah mendahuluinya dan tak kunjung menemukan jalan usai. Seperti Invasi Israel kepada Palestina, konflik Suriah, Afganistan, Pakistan dan masih banyak lagi negara-negara yang berada dalam situasi konflik bersenjata dimana tercatat setidaknya ada 15 negara yang saat ini terlibat dalam situasi konflik bersenjata baik dengan peserta antara negara dengan negara maupun antara kelompok bersenjata yang terorganisir.
Dalam ketentuan Hukum Humaniter Internasional khususnya Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977 telah mengatur bagaimana upaya meminimalisir korban perang dan penderitaan yang tidak perlu terjadi selama peperangan berlangsung baik bagi peserta tempur (kombatan) maupun bagi penduduk sipil yang tidak terlibat dalam kontak senjata. Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa Tahun 1949 bahkan telah menggolongkan situasi konflik bersenjata menjadi 2 yakni Konflik Bersenjata Internasional dimana peserta yang terlibat adalah antara negara dengan negara dan Konflik Bersenjata Non Internasional dimana peserta yang terlibat adalah antara negara dengan kelompok bersenjata terorganisir.
Penggolongan situasi konflik bersenjata ini perlu dilakukan karena perbedaan pihak yang menjadi peserta akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Hal penting yang dikedepankan oleh Konvensi Jenewa dalam tujuannya untuk memanusiakan manusia dalam situasi perang dan meminimalaisir penderitaan yang tidak perlu terjadi, sehingga Konvensi ini menempatkan keadaan perang harus dalam situasi yang seimbang diantara para pihak yang terlibat konflik. Negara merupakan entitas tertinggi sebagai subjek hukum internasional karena tak ada lagi entitas yang lebih tinggi daripada negara. Oleh karenanya situasi konflik bersenjata yang melibatkan negara dengan negara dianggap sebagai keadaan yang berimbang. Sedangkan pada situasi konflik bersenjata non internasional dimana pesertanya adalah negara dengan sekelompok pemberontak, maka jalan penyelesaiannya akan diserahkan kepada negara berdaulat untuk mengatasi kelompok bersenjata menurut hukum yang berlaku tanpa intervensi dari negara lain.
Prinsip dasar kemanusiaan dalam Hukum Humaniter Internasional telah mengamanatkan bahwa terdapat Prinsip Pembedaan Penduduk (distinction principle) dala situasi konflik bersenjata, larangan penyerangan terhadap kombatan yang telah menarik diri atau tidak melibatkan diri dalam konflik, larangan penggunaan senjata laser, larangan serangan terhadap warga sipil dan larangan pengabaian segi-segi kemanusiaan manakala kepentingan negara mengharuskan sitausi perang. Prinsip pembedaan penduduk dalam situasi konflik bersenjata bertujuan untuk menghindari jatuhnya banyak korban kekerasan bersenjata, hanya kombatan yang berada di zona perang saja yang boleh menjadi target dan melarang segala bentuk senjata yang memiliki efek menimbulkan korban masal atau tdk dapat membedakan target.
Dalam situasi konflik bersenjata penggolongan penduduk dibedakan menjadi 2, yakni Kombatan (peserta tempur) dan Penduduk Sipil. Prinsip pembedaan ini penting mengingat apabila terjadi penyalahgunaan posisi maka akan menimbulkan akibat hukum dan resiko yang berbeda pula. Penduduk sipil yang secara terang-terangan mengangkat senjata dan terjun langsung untuk terlibat dalam zona perang maka akan berstatus sebagai kombatan serta dapat menjadi target serangan.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Kanti Rahayu, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti