Operasi Tangkap Tangan KPK Korupsi Kepala Daerah Oleh: Dr. Imawan Sugiharto , M.H.

Toggle navigation
Operasi Tangkap Tangan KPK Korupsi Kepala Daerah
Oleh: Dr. Imawan Sugiharto , M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal)
SINARPAGINEWS.COM, TEGAL – Hari Kamis tanggal 11 Agustus 2022 sekitar jam 17.20 WIB di Jakarta telah terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK kepada beberapa pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang. Diantara yang tertangkap tangan antara lain Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo (MAW) serta 22 (dua puluh dua) orang lainya.
Termasuk diantaranya adalah Pejabat Sekretaris Daerah Kabupaten Pemalang serta beberapa orang lainya yang merupakan Kepala Dinas serta pejabat struktural lainya di Kabupaten Pemalang termasuk orang swasta. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh beberapa orang Penyidik KPK telah menambah daftar panjang kepala daerah yang terjaring karena korupsi atau suap.
Selama kurun waktu bulan Januari sampai dengan Agustus tahun 2022 beberapa orang Kepala Daerah telah terkena OTT KPK, yaitu Walikota Ambon Richard Louenapessy, Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin, Bupati Bogor Ade Yasin, Walikota Bekasi Rachmat Effendi, Walikota Yogyakarta Haryadi Suyati dan terakhir ini adalah Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo.
Adapun modus operandi yang mereka lakukan sebagian besar adalah penyalahgunaan wewenang ((Abuse of Power) dalam bentuk suap. Meskipun OTT KPK sudah sering terjadi akan tetapi selama ini ternyata tidak membuat pejabat, baik di pusat maupun daerah menjadi jera untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Perubahan Undang-Undang No : 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merupakan produk hukum pemerintahan Presiden Soeharto diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang merupakan produk hukum pemerintahan Presiden Habibi, menjadi awal munculnya tindak pidana korupsi di daerah baik oleh DPRD maupun Kepala Daerah.
Selanjutnya regulasi pengganti pemerintahan daerah baik Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 beserta Perubahanya, semakin menyuburkan tindak pidana korupsi kepala daerah. Hal ini tidak lepas dari adanya perubahan paradigma otonomi daerah dari otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah serta pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi pintu masuk penyalahgunaan jabatan oleh kepala daerah.
Adanya prinsip pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya khususnya untuk Kabupaten dan Kota telah menjadikan Bupati dan Walikota bagaikan raja-raja kecil di daerah. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada Kepala Daerah, baik Bupati maupun Walikota untuk menyelenggarakan baik urusan daerah maupun urusan pemerintahan umum di daerahnya. Pemerintahan Pusat hanya menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Absolut yang meliputi urusan : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Selebihnya urusan tersebut yang ada di daerah Kabupaten dan Kota sepenuhnya menjadi urusan dan kewenangan Bupati atau Walikota.
Demikian pula adanya perubahan regulasi kepala daerah secara langsung juga menambah ambisi Bupati atau Walikota untuk melakukan perbuatan tidak terpuji yaitu korupsi. Penyalahgunaan jabatan dengan cara jual beli jabatan dan komisi dari proyek pembangunan di daerah telah menjadi sumber keuangan bagi kepala daerah.
Penyebabnya antara lain tidak lepas dari beban biaya politik yang telah mereka keluarkan untuk bisa terpilih sebagai Bupati atau Walikota ketika berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah. Pemilihan langsung yang dilakukan oleh rakyat daerah dalam memilih kepala daerahnya ditandai sebagai penyebab kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi. Beban biaya politik yang sudah dikeluarkan dan sangat tinggi angkanya berkisar milyaran rupiah jelas tidak mungkin bisa ditutup ketika yang bersangkutan terpilih sebagai Bupati ataupun Walikota.
Atas beban itulah selanjutnya yang bersangkutan menggunakan berbagai cara agar modalnya bisa kembali atau minimal bisa mengurangi. Tidak ada cara lain selain menggunakan kekuasaannya untuk disalahgunakan dengan cara korupsi. Demikian pula dugaan yang dilakukan oleh Bupati Pemalang periode tahun 2021-2026 yang berhasil memenangkan pemilihan umum Bupati-Wakil Bupati Pemalang pada tahun 2020 yang kini telah ditetapkan sebagai Tersangka penerima suap oleh KPK. KPK telah mengidentifikasi titik-titik rawan dalam korupsi kepala daerah khusunya dalam proses promosi, mutasi dan manajemen SDM pada tata kelola pemerintahan daerah.
Masalah itulah yang diduga dilakukan oleh Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo dan bawahnya untuk melakukanya. Tersangka lainya adalah Komisaris PD Aneka Usaha Adi Jamal Widodo yang disebut orang kepercayaan Bupati juga telah ditetapkan sebagai penerima suap. Sementara empat orang lainya ditetapkan sebagai pemberi suap, yaitu Pj. Sekda Pemalang Slamet Masduki, Kepala BPBD Kabupaten Pemalang Sugiyanto, Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Pemalang Yanuarius Natbani dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pemalang Muhamad Saleh.
Meski berulangkali KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) penyelenggara negara khususnya kepala daerah, tetap saja tidak membuat mereka menjadi jera. Dapat dikatakan hampir setiap tahun pelaku korupsi kepala daerah selalu meningkat dan mustahil untuk dibebaskan ketika berlangsung proses pemeriksaanya baik di tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung.
Barangkali saja fenomena saat ini banyak dipengaruhi oleh kecenderungan aparat penegak hukum yang semakin ringan dalam melakukan proses penegakan hukum pelaku korupsi, baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan sampai dengan di Mahkamah Agung. Termasuk KPK yang telah kehilangan marwahnya dengan berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 yang menggantikan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penjatuhan hukuman tinggi dan apabila perlu dengan memiskinkan pelaku korupsi dengan cara memberikan hukuman tambahan berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti dan apabila tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya dapat disita oleh Kejaksaan untuk dilelang barangkali bisa mengurangi angka korupsi kepala daerah. Tentu saja hal ini juga harus dibarengi dengan kesungguhan serta keikhlasan para penyelenggara untuk melakukan perubahan dan meninjau kembali regulasi arah kebijakannya dalam pemilihan langsung kepala daerah.(***).
Oleh: Dr. Imawan Sugiharto, M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal)
Editor: Ahmad Wahidin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *