Oleh : Hasanul Rizqa
“Telaah Politik Islam”
Buku ini menyelidiki aspek kesejarahan dan dialektika gagasan politik dari persepktif Islam.
Bendera dari berbagai partai politik.
Buku ini menyelidiki aspek kesejarahan dan dialektika gagasan politik dari persepktif Islam. | Republika/ Tahta Aidilla
Dalam kehidupan sosial, politik menjadi salah satu faktor yang signifikan. Dilihat dari sudut pandang politik, masyarakat “terbelah” sekurang-kurangnya menjadi dua pihak, yaitu penguasa dan yang dikuasai.
Hubungan antarkeduanya bisa jadi ideal atau justru jauh dari harapan. Hal itu tergantung antara lain pada ada atau tidaknya sikap amanah dan kepatuhan dari masing-masing unsur, pemimpin dan rakyat.
Sebagai agama yang sempurna, Islam pun mengatur perihal politik. Sistem politik Islam tidak hanya bervisi dunia, tetapi juga ukhrawi. Sering kali dikatakan, dalam paradigma berpikir islami, kedaulatan tidak berada di tangan rakyat ataupun kepala negara, melainkan syariat.
Bahkan, kedua belah pihak itu pada hakikatnya berposisi setara, yakni sama-sama sebagai hamba Allah SWT. Mereka semua diciptakan semata-mata untuk menyembah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat: 56).
Ada banyak risalah yang bisa dijadikan rujukan untuk memahami paradigma politik Islam. Salah satu buku yang patut direkomendasikan ialah Politik Islam: Sejarah dan Pemikiran. Kitab yang terbit pada tahun 2021 ini memaparkan secara garis besar diskursus politik Islam, baik dalam aspek historisitas maupun dialektika gagasan-gagasan.
Buah pena karya Dr Achmad Irwan Hamzani dan Havis Aravik itu terdiri atas 11 bagian. Bab pertama merupakan selayang pandang ide tentang politik Islam. Di dalamnya, kedua penulis mengulas tentang, antara lain, pengertian dan istilah politik yang dikaitkan dengan agama tersebut. Di samping itu, ada pula pembahasan mengenai prinsip-prinsip, karakteristik, dan ruang lingkup politik Islam.
Bab kedua menceritakan relasi antara Islam dan negara. Termasuk di dalamnya, ulasan tentang bentuk-bentuk negara, sejak zaman klasik hingga modern. Bab ketiga membicarakan politik Islam yang hidup pada masa Rasulullah SAW.
Acuan utama dalam cara berpolitik yang islami ialah perilaku Rasulullah SAW. Kepemimpinannya selama di Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah menjadi fokus pembahasan.
SHARE
Tentunya, acuan utama dalam cara berpolitik yang islami ialah perilaku beliau. Kepemimpinannya selama di Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah menjadi fokus pembahasan.
Bab keempat berkaitan dengan politik Islam pada masa Khulafaur Rasyidin. Mereka adalah para pemimpin kaum beriman (amirul mukminin) yang muncul tepat sesudah Nabi SAW berpulang ke Kekasihnya. Para amirul mukminin itu ialah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Bab kelima berkenaan dengan situasi politik yang mendera umat Islam sesudah era Khulafaur Rasyidin. Sejarah mencatat, gugurnya Khalifah Utsman menimbulkan kegemparan di seluruh dunia Islam.
Sejak saat itu, ada dua kubu yang saling berkonflik, yakni Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus dan Ali di Kufah, Irak—sebelumnya Madinah. Menurut Achmad Irwan dan Havis, pada masa itu perubahan sistem politik terjadi.
Khususnya pada kubu Mu’awiyah, budaya asing mulai diadopsi bangsa Arab dalam memahami makna kekuasaan. Hal itu terbukti pada waktu lahirnya Dinasti Umayyah sebagai kekhalifahan pertama yang menggunakan sistem monarki absolut.
Bab keenam berisi uraian tentang karakteristik politik kaum Syiah dan Khawarij, utamanya hingga abad pertengahan. Syiah, kata para penulis ini, merupakan sebutan bagi kelompok pengikut fanatik Ali bin Abi Thalib dalam artian politik. Mereka menganggap, penggantian peran Nabi SAW dalam bidang pemerintahan adalah hak istimewa keluarga beliau.
Sepupu Rasulullah SAW itu dipandang lebih spesial dibandingkan dengan para sahabat lainnya. Adapun Khawarij mengacu pada pasukan yang melakukan disersi atau keluar (kharaja) dari kubu Ali. Padahal, mereka sebelumnya termasuk yang terdepan dalam membela khalifah keempat itu.
Bab ketujuh mengenai pandangan politik Islam pada masa klasik. Sejumlah sarjana Muslim dibahas dalam bagian ini. Di antaranya ialah al-Farabi dan al-Mawardi. Achmad Irwan dan Havis menjelaskan latar kehidupan, pandangan politik, dan legasi dari masing-masing tokoh.
Para penerusnya dibahas dalam bab berikutnya. Di sana, para penulis menjabarkan ketokohan para perumus gagasan politik Islam abad pertengahan, seperti Imam al-Ghazali, Innu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun.
Hingga bab ke-10, kandungan buku Politik Islam mengulas tokoh-tokoh ilmu politik Islam, yang mulai berkiprah dalam rentang abad ke-19 hingga 20. Di antaranya adalah para punggawa modernisme Islam, yakni Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Selain itu, terdapat pula Ali Abd al-Rasyiq. Berikutnya, ada Abu A’la al-Maududi dan Ali Syariati. Terakhir, pembahasan tentang pengagas Mosi Integral yang juga perdana menteri pertama NKRI, yaitu Mohammad Natsir.
Dekat dan jauh
Sistem pemerintahan Islam dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Semua pemikir Muslim sepakat, Madinah merupakan contoh negara Islam pertama. Tugas beliau ialah memimpin masyarakat Islam dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah SWT. Hadirnya pemerintahan Nabi SAW itu mengubah kondisi negeri setempat menjadi jauh lebih kondusif.
Sebelumnya, tatkala kota ini masih bernama Yastrib, ada dua suku besar yang saling berkonflik, yakni Aus dan Khazraj. Kompetisi keduanya kian diperparah oleh adanya upaya-upaya adu domba dari suku-suku Yahudi. Kemudian, tokoh-tokoh yang menghendaki perdamaian permanen di sana menghubungi Rasulullah SAW. Mereka meminta kesediaan beliau untuk datang dan memimpin seluruh kota ini.
Sistem pemerintahan Islam dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Semua pemikir Muslim sepakat, Madinah merupakan contoh negara Islam pertama.
SHARE
Selama fase Madinah, Nabi SAW tidak hanya sukses menyatukan di bawah panji Islam suku-suku yang sebelumnya bertikai. Beliau juga berhasil mendidik para sahabatnya agar berakhlak karimah. Karena itu, sesudah Rasulullah SAW wafat, mereka tetap menjaga persatuan dan rasa persaudaraan yang telah dirintis al-Musthafa.
Itu setidaknya masih terasa hingga zaman Khalifah Umar. Keluhuran akhlak para pemimpin bersambut dengan karakteristik masyarakat Arab yang meruangkan demokrasi. Achmad Irwan dan Havis mengatakan, ciri-ciri kehidupan penduduk Jazirah Arab yang menonjol ialah kemandirian, spirit egaliter, dan tiadanya formalitas.
Sebagai contoh, ketika Umar menjadi amirul mukminin, pernah suatu hari dirinya dicaci-maki seorang perempuan tua. Sebab, wanita itu menilai pemerintahan sang khalifah telah gagal menyejahterakan diri dan keluarganya. Alih-alih menghukumnya, sahabat berjulukan al-Faruq itu justru seketika menangis.
Dirinya pun langsung kembali ke kantor negara (Baitul Maal) dan membawakan untuk rakyatnya itu berbagai bahan pangan. Bahkan, ia sendiri yang memikul karung-karung gandum itu. “Bagaimana mungkin aku tenang selama ada seorang rakyatku yang kelaparan?” katanya.
Bagaimana mungkin aku tenang selama ada seorang rakyatku yang kelaparan?
Berbagai formalitas, peraturan protokoler mulai diberlakukan. Jabatan hajib (semacam protokoler) diadakan, dengan tugas mengatur pertemuan atau audensi dengan khalifah, baik bagi para pejabat tinggi negara. Imbasnya, para khalifah pun—kecuali Umar bin Abdul Aziz dan segelintir dari Bani Umayyah—mulai menjaga jarak terhadap rakyatnya.
Yang tadinya dekat, akhirnya menjauh. Perubahan sistem politik Arab dari yang demokratis-egaliter ke monarki-hierarkis di satu sisi patut disayangkan. Bagaimanapun, dengan sistem yang sama ekspansi wilayah Islam berlangsung sangat pesat pada masa itu. Semakin banyak orang non-Arab yang memeluk agama tauhid.
photoBuku ini mengulas dengan bernas sejarah dan dialektika gagasan dalam topik politik Islam. – (DOK PRI)
DATA BUKU:
Judul: Politik Islam: Sejarah dan Pemikiran
Penulis : Dr Achmad Irwan Hamzani dan Havis Aravik
Penerbit : NEM