GAGASAN
PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Oleh: Dr. Imawan Sugiharto , Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Terhitung mulai tanggal 14 Agustus 2022 tepat jam 23.59 WIB Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI secara resmi telah menutup pendaftaran partai politik calon peserta Pemilihan Umum 2024. Partai Politik calon peserta pemilihan umum dimaksud dan secara resmi telah mendaftar di KPU sebanyak 40 (empat) puluh masing-masing atas nama : PDI Perjuangan, Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai NasDem, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Garuda, Partai Demokrat, Partai Gelora, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Buruh, Partai Ummat, Partai Republik, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Republiku Indonesia, Parsindo, Partai Reformasi, Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai), Partai Demokrasi Rakyat Indonesia (PDRI), Partai Kedaulatan Rakyat, Partai Berkarya, Partai Indonesia Bangkit Bersatu, Partai Pelita, Partai Konggres, Partai Pandu Bangsa, Partai Bhinneka Indonesia, Partai Masyumi, Partai Perkasa (Partai Pergerakan Kebangkitan Bangsa), Partai Damai Kasih Bangsa, Partai Republik Satu, Partai Kedaulatan, Partai Pemersatu Bangsa, Partai Karya Republik (PAKAR).
Dari 40 (empat puluh) Partai Politik tersebut tidak semuanya bisa menyampaikan berkas persyaratan lengkap. Hingga pendaftaran berakhir hanya ada 24 (dua puluh empat) Partai Politik yang dinyatakan memenuhi persyaratan. Untuk Partai Politik yang lolos sampai dengan tahap administrasi Pemilu 2024 antara lain partai yang saat ini sudah mempunyai anggota di senayan (partai parlemen). Selebihnya partai baru atau lama non parlemen masih akan dilakukan verifikasi lagi secara faktual oleh KPU.
Melihat begitu banyaknya calon partai politik peserta Pemilu 2024 tidak menjamin apakah rakyat selaku pemilik kedaulatan akan berpartisipasi sepenuhnya dalam pemilihan umum yang akan berlangsung nantinya. Pengalaman selama ini dalam beberapa kali pemilihan umum, baik pemilu legislatif, pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu Kepala Daerah, rakyat hanya dijadikan sebagai obyek untuk mendulang suara. Begitu pemilu selesai rakyat yang sudah memberikan mandatnya kepada mereka jarang mendapatkan perhatian dan ada kalanya ditinggalkan. Mereka yang telah memberikan suaranya jarang sekali difungsikan secara maksimal. Padahal menurut Miriam Budiardjo (2012) fungsi partai politik adalah sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan sarana pengatur konflik. Partai politik akan menjadi besar seandainya fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan secara konsisten terutama oleh elite politik baik di pusat maupun daerah.
Ada berbagai sistem klasifikasi partai politik di berbagai negara yang meliputi : Sistem Partai Tunggal, Sistem Dwi Partai dan Sistem Multi Partai. Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu negara yang menggunakan Sistem Multi Partai baik sejak pertama kali pemilu tahun 1959 hingga kini. Pemerintahan Orde Baru lewat Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya telah melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu tahun 1971 yang tadinya terdiri dari 8 (delapan) yaitu, Golkar, NU, Parmusi, PNI,PSII,Parkindo,Partai Katolik dan Perti selanjutnya difusikan hanya menjadi 3 (tiga) partai politik saja terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (yang tidak mau disebut sebagai partai politik) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Penyederhanaan ini sangat efektif dan berhasil menekan elite politik untuk tidak membentuk partai politik baru hingga pemilu tahun 1997.
Seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998 dan kemudian terbentuk Orde Reformasi ternyata penyederhanaan partai politik menjadi buyar dan Indonesia kembali ke sistem multi partai. Tumbuhnya partai politik baru yang tidak lepas dari gerakan reformasi ternyata hanya menyisakan Partai Persatuan Pembangunan sajalah yang bisa bertahan hingga kini. Dua partai lainya berubah yaitu Golongan Karya yang kemudian disejajarkan dengan partai politik lainya dengan adanya nomenklatur partai di depanya sehingga disebut Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pemilu tahun 1999 yang disebut sebagai pemilu yang paling demokratis, jujur dan tranparan di samping pemilu tahun 1959 telah melahirkan banyak partai baru yang didasarkan pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Bahkan menurut Kuswanto (2016) pada saat itu sampai ada 141 (seratus empat puluh satu) partai politik yang terdaftar pada Departemen Hukum dan HAM RI. Seberapa besar jumlah partai politik peserta Pemilu tahun 2024 nantinya juga tergantung dari hasil verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024 yang akan datang. Banyaknya jumlah parpol peserta pemilu juga tidak menjamin pelaksanaan demokrasi menjadi lebih baik.
Banyaknya jumlah partai politik di sasatu sisi justru akan menambah beban biaya yang semakin tinggi yang harus dikeluarkan negara lewat APBN dan APBD. Untuk penyelenggaraan pemilu tanggal 14 Februari dan 27 November tahun 2024 yang akan datang baik pemerintah dan DPR telah menyepakati anggaran sebesar Rp. 76,6 triliun untuk KPU, sedangkan untuk Bawaslu sebesar Rp 33,8 trilliun. Bandingkan dengan penyelenggaraan pemilu tahun 2019 yang hanya sebesar Rp. 25,59 trilliun. Besaran anggaran yang membengkak sebesar 431,4 persen tidak menjamin munculnya negarawan yang diharapkan bisa memimpin bangsa Indonesia hingga sejajar dengan negara tetangga di kawasan Asean, misalnya Malaysia apalagi Singapura. Hal ini pada dasarnya tidak lepas dari peran partai politik yang gagal dalam melahirkan kader-kadernya yang unggul dan diharapkan akan menjadi pimpinan negara baik di pusat maupun daerah.
Terus untuk tujuan apakah elite politik beramai-ramai membentuk parpol baru kalau ujung-ujungnya juga tidak bisa mengantarkan kadernya duduk di kursi DPR serta menjadi pimpinan baik di pusat maupun daerah serta membawa bangsa ini ke tahap kesejahteraan yang lebih baik bagi rakyatnya. Bukan hal yang mudah bagi parpol baru untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dalam bentuk dukungan politik dalam pemilu. Untuk saat ini justru bangsa Indonesia sedang menghadapi realita perpecahan bangsa. Hal ini tidak lepas dari pengaruh pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 dan 2019.
Ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Treshold) dengan angka 20 persen baik bagi parpol maupun gabungan parpol yang ditetapkan Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi ikut berperan dalam menciptakan perpecahan bangsa. Dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 dan 2008 calonya lebih dari 2 (dua) pasang mengingat ambang batas hanya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu DPR. Sedangkan dalam pemilu presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 dan 2019 hanya 2 (dua) pasang saja yang kemudian melahirkan istilah Cebong dan Kampret terhadap dua calon tersebut.
Sebaliknya?
Saat ini hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bisa mengusung calon Presiden dan Wakil Presidenya sendiri dalam pemilu 2024 yang akan datang tanpa gabungan dengan parpol lainya. Jumlah suara yang didapatkan ketika pemilu DPR tahun 2019 yang lalu sejumlah 27.503.789 atau 19,33 persen dengan jumlah kursi sebanyak 128. Sedangkan yang ada dibawahnya, yaitu Partai Golkar hanya 85 kursi (12,31 persen) disusul Partai Gerindra 78 kursi (12,57 persen). Partai politik lainya misalnya NasDem 59 kursi (9,05 persen), PKB 58 kursi (9,69 persen), Demokrat 54 kursi (7,77 persen), PKS 50 kursi (8,21 persen), PAN 44 kursi (6,84 persen) dan terakhir PPP sejumlah 19 kursi (4,52 persen).
Atas dasar pertimbangan inilah seharusnya elite politik khususnya di tingkat atas sudah mulai berpikir ulang untuk mengkaji banyaknya parpol yang tumbuh subur menjelang pemilu dan selanjutnya secara alami mereka akan rontok dan tergradasi oleh alam setelah pemilu dinyatakan selesai. Meski semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama baik di mata hukum maupun pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak berarti apabila mereka dengan mudahnya untuk membentuk partai politik baru.
Salurkan aspirasi politiknya melalui partai politik yang dianggap mampu memperjuangkan hak-haknya ketika bernegara sesuai dengan hati nurani masing-masing dan dengan lapang dada menerima kekalahan ketika demokrasi rakyat berlangsung lewat pemilu. Bukan malah pindah partai politik atau membentuk partai politik baru yng belum tentu juga mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Itulah barangkali yang bisa dilakukan agar tidak muncul partai politik dadakan ketika diadakan pemilu.
*Dikutip dari berbagai sumber
Oleh: Dr. Imawan Sugiharto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal