PERMASALAHAN PENANGGULANGAN CYBERCRIME DI INDONESIA
Oleh: Fariz Albbirr, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Teknologi informasi terus berkembang sangat pesat. Suka tidak suka semua akan terdampak negative dari perkembangan teknologi informasi. Contohnya semakin marak terjadi beragam kejahatan di dunia maya baik yang berskala nasional maupun internasional yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari aparat penegak hukum.
Salah satu kejahatan yang marak diperbincangkan oleh publik yaitu kejahatan Cybercrime yang dapat dilakukan tanpa mengenal batas jarak ruang dan waktu. Cybercrime ini merupakan sisi negatif dari dampak perkembangan teknologi yang kian canggih sehingga penanggulangan dari kejahatan tersebut memerlukan suatu keahlian dan pengetahuan khusus dalam bidang teknologi informasi.
Cybercrime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini. Dengan adanya kemajuan teknologi tersebut sebagian orang dengan sangat mudah memasuki ruang lingkup kejahatan hanya dengan mengandalkan kemampuannya untuk menggerakkan sistem teknologi. Terkait dengan hal tersebut.
Perangkat hukum yang dapat digunakan untuk menanggulangi cybercrime di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tentang Transaksi Elektronik sebagaimana telah dilakukan perubahan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undangan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan adanya undang-undang itu belum dapat menekan keberadaan Cybercrime karena masih terdapat kekurangan.
Mengingat Cybercrime merupakan suatu kejahatan Mayantara yang dapat dilakukan tanpa mengenal batas ruang dan waktu, diperlukan suatu upaya pencegahan untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Aktivitas pokok dari cybercrime adalah penyerangan terhadap computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace.
Fenomena cybercrime harus diwaspadai karena kejahatan ini berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak memerlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan.
Terdapat beberapa persoalan dalam UU ITE, di antaranya: Pertama, perihal pembuktian yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Kedua, berkaitan dengan penafsiran tentang asas-asas dan norma hukum ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud. Kenyataannya Cybercrime bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritorial suatu negara.
Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi seperti pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet (carding). Mengenai upaya penanggulangan Cybercrime memerlukan suatu perhatian dan keahlian khusus dalam bidang teknologi. Kejahatan ini mempergunakan sistem jaringan computer yang dapat digunakan oleh siapapun juga tanpa mengenal batas teritorial dan waktu.
Persoalan lain adalah soal pembuktian. Pembuktian cybercrime belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Diharapkan ketentuan mengenai informasi elektronik diatur secara tegas sehingga terdapat suatu kepastian hukum.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Fariz Albbirr, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal