Ketika Koorporasi melakukan Kejahatan Ekosida
Oleh: Sammah Fatichah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
(Bagian Akhir dari 2 Tulisan)
Ekosida sering terjadi di Indonesia. Padahal Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah. Kondisi inilah yang mengakibatkan Indonesia menjadi negara rawan ekosida.
Semakin berkembangnya teknologi dan pembangunan, terbitlah suatu gagasan agar PBB memasukkan kembali ekosida ke dalam Statuta Roma sebagai kejahatan kelima. Pada tahun 1996, ekosida pernah diajukan sebagai kejahatan kelima, akan tetapi dikeluarkan dari draf karena dianggap belum didefinisikan secara detail. Tahun 2021, para pakar hukum seluruh dunia berhasil mendefinisikan arti dari Ekosida dan mengajukan kembali Ekosida sebagai pelanggaran berat ke pengadilan pidana internasional.
Ekosida merupakan pemusnahan sumber daya dan ekosistem yang diperlukan dalam kehidupan manusia dengan cara eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam secara masif dan menyebabkan kerugian bagi manusia. Berdasarkan pengertian ini, ekosida dianggap dapat menyebabkan terjadinya genosida. Rentetan data dan fakta tentang kejahatan ekosida dan keikutsertaan korporasi atas kejahatan tersebut menunjukan ada yang salah dengan kebijakan hukum lingkungan terkhusus penegakan hukum pidana lingkungan sehingga pemusnahan lingkungan hidup tetap terus terjadi. Salah satunya disebabkan karena lemahnya penegakan hukum padahal jaminan atas lingkungan hidup yang baik adalah amanat konstitusi. Regulasi yang ada saat ini belum mengakomodir kejahatan ekosida sebagai sebuah kejahatan yang serius dan merupakan bagian dari pelanggaran terhadap konstitusi serta Hak Asasi Manusia yang memungkinkan pelaku dihukum berat.
Faktor mana yang paling dominan akan terus menjadi perdebatan yang tidak pernah berakhir karena banyaknya kepentingan baik sosial maupun ekonomi dan politik di wilayah kebakaran. Pun demikian halnya terkait siapa yang terlibat dalam kerusakan lingkungan. Dugaan keterlibatan warga masyarakat dalam perusakan karena untuk mendapatkan akses menguasai dan memanfaatkan bagian-bagian tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan baik di sektor kehutanan maupun perkebunan pun mengemuka. Perusahaan pemegang perizinan dan hak atas tanah tertentu diduga terlibat dalam perusakan lingkungan demi efisiensi, meskipun ini perlu dibuktikan lebih lanjut dalam proses peradilan.
Terlepas dari perdebatan tentang faktor penyebab dan keterlibatan kelompok tertentu, faktor manusia adalah penentu dalam menjaga keseimbangan alam dan ekosistem dengan segenap ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Manusia di satu sisi memiliki kelebihan untuk memanfaatkan sumber daya alam namun di sisi lain memiliki kewajiban pula untuk menjaga kelestarian termasuk mencegah terjadinya kebakaran dan memulihkan kerusakan alam akibat terjadinya kebakaran. Salah satu bentuk tanggung jawab manusia dalam penanggulangan kebakaran hutan adalah penegakan hukum bagi korporasi yang terbukti melakukan pelanggaran hukum lingkungan sehingga terjadi bencana kebakaran hutan.
Paparn diatas menunjukan bahwa contoh dari dampak negatif korporasi ialah kerusakan alam besar-besaran yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan ekosida yang nantinya bisa menimbulkan kejahatan yang lebih besar lagi yakni kejahatan genosida, seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk segera meloloskan pengaturan mengenai kejahatan ekosida dan pertanggungjawaban korporasi apabila telah terbukti melakukan tindak pidana tersebut. Adanya ancaman pidana di samping adanya sanksi administratif juga diperlukan supaya dalam penegakannya, undang-undang ini dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya.
*Dikutip dari berbagai sumber.
**Tulisan ini merupakan bagian dari skripsi penulis.
Oleh: Sammah Fatichah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal