Menyoal Pasal Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan  Lembaga Negara dalam KUHP Baru

Menyoal Pasal Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan  Lembaga Negara dalam KUHP Baru

Oleh: Ahmad Fityan Abdussalam, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Menyoal Pasal Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan  Lembaga Negara dalam KUHP Baru

 

Het recht hink achter de feitenaan. Hukum akan selalu ketinggalan zaman. Dengan berpegang pada sejumlah asas hukum dan budaya demokrasi suatu bangsa, adagium ini menjadikan perlunya reformasi hukum. Namun, reformasi hukum pidana di Indonesia sangat lamban.

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ini telah di sahkan dan menjadi KUHP nasional. Namun masih banyak menimbulkan perdebatan di tengah tengah masyarakat. Pengesahan tersebut ada yang menilai terlalu terburu-buru, rumusan pasal yang dinilai karet, dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan berbagai macam alasan kontra lainnya. Beberapa rumusan pasal yang masih diperdebatkan di tengah masyarakat adalah pasal penghinaan terhadap Presiden/Wapres, kekuasaan umum dan Lembaga negara. Masyarakat menganggap bahwa hal itu akan memperburuk suasana demokrasi di tengah masyarakat.

Media sosial beberapa waktu lalu ramai dengan hastag #semuabisakena yang dilakukan oleh beberapa akun. Misalnya postingan Instagram yang diunggah oleh akun @najwashihab yang mengunggah foto dirinya dengan menutup mulut bertuliskan “RKUHP” dan di bawahnya bertuliskan “#SEMUABISAKENA”. Ada akun twitter @Digressionez1ne yang mengunggah foto berisi kata “BIKIN LIRIK KRITIK PEMERINTAH BISA DIPENJARA Penghinaan lembaga Negara pasal 240” atau “KRITIK PEMERINTAH BISA DIPENJARA Penghinaan lembaga Negara pasal 240”.

Pengaturan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan Lembaga negara dalam draft 30 November 2022 pada pasal 351 dan 352. Disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara atau pidana denda paling banyak kategori dua. Ayat (2) pasal 351 menyebutkan jikalau perbuatan tersebut menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat akan ditambah ancaman pidananya. Pasal 351 dam 352 merupakan delik aduan yang sifat nya absolut dimana obyek penghinaan saja yang dapat melakukan aduan secara tertulis.

Rumusan pasal di atas yang dianggap berpotensi karet adalah frasa “Penghinaan”. Sebab selain level ketersinggungan atas suatu kritik dari seseorang kepada suatu Lembaga kekuasaan umum yang di dalamnya banyak orang pasti merasa tersinggung dan walaupun sudah menjadi delik aduan absolut. Tidak ada spesifikasi siapa di dalam Lembaga dan kekuasaan umum tersebut yang berhak melapor. Apabila customer service atau staff biasa suatu Lembaga negara atau kekuasaan umum merasa tersinggung terhadap suatu kritik maka dia bisa saja melaporkan hal tersebut kepada polisi untuk di proses pidana.

Konteks penghinaan terhadap kekuasaan umum dan Lembaga negara akan sangat sulit dibedakan dengan kritik apalagi pasal ini hanya untuk melindungi institusi yang tidak memiliki reputasi dan martabat secara personal. Sebab karena memang kekuasaan umum dan Lembaga negara bukan merupakan suatu subjek hukum yang harus dilindungi apalagi dalam konteks hukum pidana. Pasal ini bisa dilakukan Judicial review karena selain bertentangan dengan prinsip demokrasi kekuasaan umum dan Lembaga negara adalah objek kritik, yang tidak boleh dilindungi dengan pasal penghinaan.

Selain itu pula apabila suatu lembaga negara dan kekuasaan umum ingin melindungi diri dari suatu kritik maka yang di perbaiki adalah bagaiman kinerja suatu Lembaga negara tersebut bukan sekali lagi berlindung dengan pasal penghinaan. Menjadi pertanyaan apabila pejabat dalam Lembaga negara tersebut menghina institusinya sendiri dengan melakukan perbuatan indisipliner, korupsi, Tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, juga sepatunya diancam pidana dengan ancaman lebih tinggi. Apabila pejabat melakukan perbuatan yang menghina institusinya maka maksimal akan di jatuhi hukuman etik atau di copot dari jabatan nya, tidak sampai dengan hukuman pidana.

Ada kekhawatiran bahwa pasal-pasal ini berpotensi karet karena penggunaannya menjadi diskresi aparat penegak hukum. Sejelas apapun formulasi suatu pasal, secara otomatis membuka ruang interpretasi aparat penegak hukum yang mana dipertanyakan independensinya. Sebab, sebesar apapun independensi aparat penegak hukum pasti tetap mempunyai kecenderunga terhadap kekuasaan.

*Dikutip dari berbagai sumber.

Oleh: Ahmad Fityan Abdussalam, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *