URGENSI PEMBENTUKAN PENGADILAN AGRARIA Oleh: Bha’iq Roza Rakhmatullah , S.H., M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN
URGENSI PEMBENTUKAN PENGADILAN AGRARIA
Oleh: Bha’iq Roza Rakhmatullah , S.H., M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
“Sadumuk bathuk senyari bumi, dibelani kanthi pecahing dada lan wutahing ludira”, memiliki arti kurang lebih, “walaupun hanya segores corengan di wajah dan sejengkal tanah yang direnggut, kalaupun harus dengan mempertaruhkan pecahnya dada dan kucuran darah, akan saya bela sampai mati “. Ungkapan jawa tersebut memiliki makna yang dalam bagi manusia, yaitu hakekat tanah disikapi sebagai soal hidup dan mati.
Hal senada juga disampaikan oleh Cristoper Colombus (1492) yang menyatakan bahwa “siapa mengusai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan, siapa mengusai sarana kehidupan, ia menguasai manusia”. Bagi seseorang, tanah selain memiliki mengandung nilai ekonomis, juga mengandung nilai budaya, sejarah dan religius. Oleh karena itu, kasus pertanahan dalam penegakan hukum harus direspon dengan paripurna guna mencegah kerugian yang lebih besar, yaitu dalam ungkapan jawa diatas digambarkan dengan ungkapan “dengan pecahnya dada dan kucuran darah”.
Secara terminologi pengertian kasus pertanahan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan mengkategorikan kasus pertanahan menjadi tiga katagori, yaitu Sengketa Pertanahan, Konflik Pertanahan dan Perkara Pertanahan.
Kasus perkara pertanahan di Indonesia semakin hari semakin bertambah dengan segala macam tipologi permasalahannya. Tipologi Permasalahan tanah diantaranya kepemilikan dan penguasaan tanah, prosedur pendaftaran dan penetapan hak atas tanah, tumpang tindihnya letak dan batas bidang tanah, ganti rugi dalam pengadaan tanah, klaim kawasan hutan dan eksekusi putusan pengadilan.
Kasus pertanahan baik berupa sengketa pertanahan, konflik pertanahan maupun perkara pertanahan saban hari terus bergulir dan terus bertambah. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan agraria merupakan masalah yang sangat rawan dan membutuhkan perhatian khusus dari negara. Wacana urgensi pembentukan Pengadilan Agraria dianggap sebagai langkah maju untuk mengurai dan menyelesaikan kasus pertanahan dan sejalan dengan cita-cita Reformasi Agraria sebagaimana termaktub dalam TAP MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Penyelesaian kasus pertanahan saat ini merupakan kewenengan pengadilan umum, sehingga penyelesaian kasus-kasus pertanahan dilaksanakan secara dikotomi yaitu melalui peradilan secara Pidana, Perdata dan Administratif. Hal ini tentu menyebabkan penyelesaian kasus pertanahan tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan effisien, karena memiliki waktu yang lama dan bisa saja putusan hakim dalam satu kasus pertanahan bisa berbeda satu sama lain dalam peradilan Pidana, Perdata dan Administratif, sehingga menyulitkan eksekusi putusannya.
Selain itu, paradigma legal formalistik hakim dalam peradilan umum sangat merugikan banyak pihak, karena hakim hanya akan melihat mengenai bukti kepemilikan alas hak surat-surat atau sertifikat tanah, padahal dalam hukum agraria kita mengenal tanah ulayat yang dimiliki masyarakat adat yang barang tentu bisa saja masyarakat tidak memiliki alas hak tertulis.
Dalam kasus pertanahan berupa konflik pertanahan yang memiliki corak extra-ordinary yaitu memiliki kekhasan yang bersifat konflik struktural yaitu menempatkan pihak yang berperkara pada posisi yang tidak sama dan tentunya masyarakat yang berada pada posisi yang lebih rendah dengan keterbatasan segala akses baik kuasa maupun ekonomi. Oleh karena itu, penyelesaian konflik pertanahan haruslah dilakukan dengan serius, menyeluruh dan berkeadilan oleh lembaga Peradilan yang memiliki kewenangan extra-ordinary.
Urgensi pembentukan pengadilan agraria bukanlah suatu hal yang utopia, melainkan kebutuhan negara dalam menyelesaikan kasus-kasus pertanahan di Indonesia. Sejarah Pengadilan Agraria di Indonesia pernah ada pada jaman orde lama yaitu Pengadilan Land Reform yang dibentuk melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform. Pengadilan Landreform berwenang mengadili perkara-perkara perdata, pidana, dan administratif yang timbul akibat pelaksanaan program land reform.
Berdasarkan fakta sejarah dan semakin bertambahnya kasus pertanahan di Indonesia, maka kehadiran Pengadilan Agraria merupakan hal yang urgen. Pengadilan agraria akan menjadi suatu peradilan sebagaimana Pengadilan Pajak atau Pengadilan HAM, dimana Pengadilan Agraria memiliki kewenangan khusus berkaitan dengan kasus Agraria. Pengadilan Agraria akan menjadi Pengadilan integral dalam menyelasaikan kasus pertanahan baik secara pidana, perdata maupun administratif. Selain itu, dengan corak hukum agraria yang komperhensif, maka hakim dalam pengadilan agraria haruslah memiliki cara pandang progresif.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Bhaiq Roza Rahmatullah, S.H., M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *