GAGASAN
KONTROVERSI PASAL PORNOGRAFI DALAM KUHP BARU
Oleh: Gaga Desga Griandana, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Meskipun pro-kontra, akhirnya RUU KUHP disahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-undang ini dapat juga disebut sebagai KUHP, atau singkatan yang sudah popular. KUHP yang baru disahkan ini menggantikan KUHP yang selama ini berlaku yang merupakan peninggalan koloni Belanda.
Namun demikian, beberapa pasal dalam KUHP (baru) tersebut masih ada yang menuai pro-kontra. Salah satunya adalah tentang pasal yang berhubungan dengan menyebar hal pornografi, yaitu Pasal 411. Bunyi pasal tersebut adalah:
“(1) Setiap Orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI.
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana jika merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.”
Pasal dianggap masih kurang pas karena, khususnya pada ayat (2) dikecualikan karena karya seni, Maksudnya, jika oknum menyebarluaskan produk atau seni pornografi secara gamblang dan umum karena seni, misalkan ada anak tidak sengaja melihat hal pornografi itu. Oknum tersebut seharusnya disalahkan karena menyebarluaskan hal tersebut tapi oknum menggunakan Pasal Pasal 411 ayat (2) untuk menjadi tameng dalam perkara ini.
Ada Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, khususnya Pasal 15 yang menyebutkan: “Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.”. Pornografi meskipun didalihkan sebagai karya seni tetap akan berpengaruh negatif terhadap anak.
Pasal 411 dalam KUHP baru patut disempurnakan. Perlu ditambahkan pembatasan lagi supaya tidak menjadi tameng oknum yang berkepentingan tertentu. Sangat mungkin Pasal tersebut akan dijadikan tameng oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Apabila orang tua mengajak anak ke tempat seni apa lagi di dalam seni ada unsur pornografi, tentu tidak baik untuk anak. Sebab anak belum semestinya melihat hal seperti itu karena bisa menimbulkan dampak buruk yaitu kerusakan pada otak yang menyebabkan menurunya konsentrasi. Apabila hal ini masih dianggap dikecualikan oleh Pasal 411 ayat (2), maka di pasal-pasal tersebut masih belum sempurna sehingga orang tua harus extra waspada untuk anak dari hal-hal pornografi.
Selain itu, ada juga Pasal 415 dan Pasal 416 tentag perzinahan. Pasal 415 dan 416 dapat berdampak buruk untuk sektor pariwisata karena berbagi kamar dengan pasangan. Sebagai contoh, Bali yang banyak turis mancanegara. Pasal-pasal tersebut sebenarnya Pasal yang sangat bagus karena melarang orang berzina di luar perkawinan. Sampai diberitakan Pemerintah Provinsi Bali tidak setuju karena berdampak buruk bagi sektor pariwisata khususnya turis asing.
Pasal zina masih delik aduan, sehingga seseseorang masih bisa berzina asal tidak ketahuan. Jadi Pasal ini sebenarnya masih kurang sempurna. Sebab, menurut kultur bangsa Indonesia yang religius, perzinahan itu bukan persoalan ada aduan atau tidak. Zina adalah hubungan seks di luar nikah baik ada aduan ataupun tidak.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Gaga Desga Griandana, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal