KAUSALITAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENGUJIAN CAUSA PROXIMA Oleh: Wahyu Arrafi Musyaf, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN
KAUSALITAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENGUJIAN CAUSA PROXIMA
Oleh: Wahyu Arrafi Musyaf, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Pembunuhan dianggap perbuatan yang sangat terkutuk dan tidak berperikemanusiaan. Di dalam tindak pidana pembunuhan yang menjadi sasaran si pelaku adalah jiwa nyawa seseorang yang tidak dapat diganti dengan apapun. Dan perampasan itu sangat bertentangan dengan Undang-Undang 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” . Salah satu jenis tindak pidana pembunuhan adalah tindak pidana pembunuhan berencana. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah “ Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, yang rumusannya dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dipidana karena pembunuhan dengan rencana”.
Berdasarkan apa yang diterangkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa merumuskan pasal 340 KUHP dengan cara demikian, pembentuk undang-undang sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri. Suatu peristiwa pasti ada penyebab terjadinya, demikian juga dengan tindak pidana pembunuhan berencana. Peristiwa sebab dan akibat tersebut di sebut dengan causalitas.
Ajaran kausalitas adalah ajaran tentang sebab akibat. Untuk delik materil permasalahan sebab akibat menjadi sangat penting. Kausalitas berlaku ketika suatu peraturan pidana tidak berbicara tentang perbuatan atau tindak pidananya (yang dilakukan dengan sengaja), namun menekankan pada hubungan antara kesalahan atau ketidaksengajaan (culpa) dengan akibat. Dengan demikian, sebelum mengulas unsur kesalahan, hakim pertama-tama menetapkan ada tidaknya hubungan kausal antara suatu tindakan dan akibat yang muncul. Jadi ajaran kausalitas menentukan pertanggungjawaban untuk delik yang dirumuskan secara materil, mengingat akibat yang ditimbulkan merupakan unsur dari delik itu sendiri.
Kausalitas dalam hukum pidana terkait dengan sebuah pertanyaan besar yaitu siapakah yang bisa ditempatkan sebagai “penyebab” atas hasil dari tindak pidana? Jawaban atas pertanyaan ini memiliki hubungan erat dengan apakah ada hubungan sebab akibat antara perbuatan seorang pelaku dengan hasil kejahatan, atau apakah hasil dari kejahatan tersebut sudah mencukupi untuk meminta pertanggungjawaban pelaku tersebut. Dengan kata lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapa jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.
Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana selain digunakan untuk menentukan tindakan yang mana dari serangkaian tindakan yang dipandang sebagai sebab dari munculnya akibat yang dilarang juga dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu akibat tertentu. Tidak mudah untuk menentukan apa yang dianggap sebagai sebab terjadinya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana, karena suatu akibat dapat timbul disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan.
Teori kausalitas menjadi sesuatu hal yang penting dalam perkembangan filsafat hukum. Tidak banyak ilmuwan hukum yang tertarik untuk mendalami ajaran ini, sehingga perkembangan pemikiran ajaran ini di Indonesia seolah mengalami mati suri.
Kausalitas dijadikan sebagai “filter” dalam membangun pertanggungjawaban pidana seseorang. Sebagai filter, kausalitas akan menyaring apa saja perbuatan-perbuatan faktual yang dilakukan oleh pelaku, setelah perbuatan faktual terjaring selanjutnya akan dicari perbuatan hukumnya. Dengan menemukan perbuatan hukumnya maka seseorang akan dapat diminta pertangggungjawabannya. Dalam menganalisis ada tidaknya kausalitas dalam sebuah tindak pidana maka ada pandangan yang mengatakan bahwa yang pertama dianalisis adalah faktor-faktor atau alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya sebuah peristiwa pidana.
Ada beberapa teori-teori dalam kausalitas yakni Teori relevansi, Teori Conditio Sine Qua Non, dan Teori Causa Proxima. Menurut teori Causa Proxima dalam tiap-tiap peristiwa itu hanya ada satu sebab yaitu syarat yang paling menentukan untuk timbulnya suatu akibat. Teori ini melihat semua syarat yang ada setelah perbuatan terjadi (post faktum) dan berusaha untuk menemukan satu syarat yang bisa dianggap sebagai syarat yang paling menentukan atas timbulnya suatu akibat. Inti dari teori ini menjelaskan bahwa yang dipahami sebagai sebab dari suatu perbuatan pidana adalah perbuatan yang paling dekat menimbulkan akibat. Yang menurut pendapat G.E. Mulder, teori ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa sebab dan akibat tidak boleh berjarak terlalu jauh.
Contohnya adalah sebuah kapal bertabrakan dan dibawa ke pelabuhan untuk menjalani perbaikan. Kapal itu mengangkut sejumlah barang berupa buah-buahan. Untuk memudahkan perbaikan, maka buah-buahan tersebut dibongkar ke darat dan kemudian dimuat kembali ke kapal itu setelah selesai. Karena keterlambatan (delay) dalam penerusan barang-barang tersebut ke tempat tujuan sebagai akibat dari proses perbaikan kapal, buah-buahan itu menjadi busuk.
Proximate cause dari kerugian/kerusakan buah-buahan ini adalah delay, sedangkan tabrakan yang menimbulkan delay itu dan proses bongkar dan pemuatan kembali buah-buahan itu adalah remote causes (penyebab yang jauh) terhadap kerugian/kerusakan buah-buahan itu, sebagaimana putusan hakim dalam kasus “Pink v. Flemming (1890)”. Definisi proximate cause yang dibuat oleh hakim dalam memeriksa kasus hukum yang standar berkenaan dengan proximate cause dari kasus “Pawsey v. Scottish Union and National (1907)” diharapkan dapat menjadi rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus proximate cause.
Definisi proximate cause yang dimaksud adalah penyebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian kejadian-kejadian yang melahirkan suatu hasil, tanpa intervensi/campur tangan suatu kekuatan yang berasal dan bekerja secara aktif dari suatu sumber baru dan independen”. Berdasarkan definisi proximate cause di atas, maka suatu cause (penyebab) memenuhi syarat untuk menjadi proximate cause apabila memenuhi dua kondisi yaitu pertama, cause (penyebab) itu merupakan suatu dominant cause (penyebab dominan) atau active and effective cause (penyebab aktif dan efektif) dalam menghasilkan suatu kerugian. Kedua, tidak terputus rangkaian peristiwa itu (the chain of event) antara cause (penyebab) tersebut dengan kerugian sendiri.
Kesimpulannya, apabila telah ditetapkan suatu tindak Pidana Pembunuhan yang menjadi proximate cause dari kerugian pada obyek pertanggungan, maka penyebab atau penyebab-penyebab lainnya yang berkontribusi dalam timbulnya kerugian itu diabaikan. Akan tetapi, aturan ini tidak berlaku apabila terdapat suatu pengecualian khusus. Alasannya adalah bahwa pengecualian seperti itu mempunyai kedudukan yang prioritas dari kata-kata yang umum (general words). Jika remote cause (penyebab jauh) itu termasuk dalam kata-kata pengecualian itu, hal itu sudah cukup menjadi dasar bagi penanggung untuk menyatakan bahwa kerugian tersebut telah disebabkan oleh suatu bahaya yang dikecualikan dari jaminan polis.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Wahyu Arrafi Musyaf, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *