GAGASAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR
Oleh: Dina Arum Fadila Surahman, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Justice collaborator kembali banyak diperbincakan dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat yang menjadikan Bharada Richard Eliezer sebagai salah satu saksi yang juga terdakwa. Bharada Richard Eliezer didakwa melanggar Pasal 340 KUHP, subsider Pasal 338 KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, termasuk kategori pembunuhan biasa. Ancaman pida pada pembunuhan biasa pada Pasal 338 maksimum lima belas tahun. Sedangkan ancaman pidana dalam Pasal 340 KUHP adalah pidana mati, atau pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum 20 tahun.
Bharada Richard Eliezer menjadi justice collaborator. Pemberian hak tersebut dilakukan karena terdakwa Richard Eliezer bukan sebagai pelaku utama. Terdakwa juga memiliki keterangan terkait skenario perbuatan menghalang-halangi keadilan hukum pidana atas peristiwa pembunuhan berencana Brigadir Joshua. Pemberian hak tersebut dapat meringankan dakwaan Richard Eliezer.
Justice collaborator harus dilindungi secara hukum. Sebab diharapkan dapat koperatif mengungkap tindak pidana yang sebanarnya, termasuk pihak-pihak yang terlibat. Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap HAM yang dirugikan orang lain. Perlindungan hukum diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat, dan martabat sebagai manusia.
Sehingga pengakuan dan perlindungan terhadap hak tersangka sebagai bagian dari HAM tanpa membeda-bedakan. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban. Bentuk perlindingan hukum dapat diwujudkan dalam bentuk seperti melalui restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
Justice Collaborator memang termasuk terminology baru dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Justice collaborator merujuk pada ketentuan bahwa dalam tindak pidana tertentu (dalam hal ini kejahatan pembunuhan) seorang Tersangka, Terdakwa atau Terpidana dapat bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan tersebut.
Justice collaborator pada dasarnya memiliki hakikat yakni memberikan identitas kepada seorang pelaku kejahatan yang bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum guna mengungkap tabir kejahatan yang diketahuinya. Justice collaborator akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya.
Munculnya eksistensi Justice collaborator didasari oleh beberapa ketentuan meliputi: Pertama, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kedua, Pasal 197 angka (1) huruf F KUHAP mengenai surat putusan pemidanaan yang salah satu bagiannya membahas tentang ‘keadaan memberatkan dan meringankan terdakwa’.
Selain itu justice collaborator tercantum di beberapa pasal dalam perundang-undangan sebagai berikut: Pertama, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. (Selanjutnya disebut SEMA tentang Whistleblower dan Justice Collaborator). Kedua, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER045/A/JA/12/2011, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor : 1 tahun 2011, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor : 4 tahun 2011 (Selanjutnya disebut Peraturan Bersama Menkumham, Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan LPSK).
Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban. Lembaga itu dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Lingkup perlindungan oleh LPSK adalah pada semua tahap proses peradilan pidana, agar saksi dan/atau korban merasa aman ketika memberikan keterangan.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dina Arum Fadila Surahman, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal