Hegemoni Oligarki dan Ambruknya Supremasi Hukum Oleh: Toni Haryadi, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN

Hegemoni Oligarki dan Ambruknya Supremasi Hukum

Oleh: Toni Haryadi, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Keadilan hukum sangat dirindukan oleh rakyat Indonesia, di tengah carut-marut penegakannya, dugaan terjadi ketidakadilan yang terkesan mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul, menjadi ironi tersendiri. Sebuah elegi hukum dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan ini (machstaat). Hukum dipakai sebagai sarana melegitimasi tindakan pemerintah meski keliru. Padahal idealnya hukum harus menciptakan keadilan.
Thomas Aquinas, “Lex injusta non est lex.” Artinya hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Saat hukum tak lagi ditaati, bahkan ia dikendalikan oleh sekelompok orang (penguasa) demi ambisi kursi mereka, tumbuhlah oligarki kekuasaan di negara hukum, berakibat matinya demokrasi dan terjerumus dalam negara kekuasaan. Akhirnya, hukum hanyalah permainan bagi sekelompok orang dan supremasi hukum ambruk, yang tersisa adalah supremasi kekuasaan politik oleh Oligarki.
Secara konsep, negara Indonesia hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not Rule of Man.” Ini sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Mengapa oligarki politik bisa ada dalam demokrasi? Demokrasi memang memberikan jalan lapang pada apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Membuka jalan lebar bagi aspirasi rakyat.
Saat rakyat berdaulat, ia bisa menentukan apa yang terbaik baginya. Secara teori begitu yang diinginkan dan diangankan oleh pendukung demokrasi, tetapi secara fakta tidak demikian. Ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk menentukan jalannya negara, mudah ditebak bahwa kelompok yang sangat kaya tak akan tinggal diam. Mereka akan berusaha meraih kekuasaan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat.
Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) boleh saja mengatakan demokrasi adalah “From the people, by the people and for the people.” Tapi sebelas tahun setelah Lincoln meninggal, Presiden Rutherford B. Hayes pada tahun 1876 mengatakan kondisi di Amerika Serikat saat itu adalah “From company, by company and for company.” Dengan kata lain, demokrasi secara alami akan bertransformasi menjadi wajah oligarki. Yaitu sistem politik dari konglomerat, oleh konglomerat dan untuk konglomerat.
Peran Parpol Yang Mendorong Munculnya Oligarki yaitu Ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki atau jaringan, Pelembagaan partai yang belum sempurna, Faktor eksternal yang turut mempengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Sehingga dampak Hegemoni Oligarki terhadap Supremasi Hukum adalah Prinsip suka-suka kami (SSK) dalam penegakan hukum dan Diskriminatif atau inequality before the law“. Saat penguasa (oligarki) melakukan intervensi hukum, mereka mengubah/membelokkan secara paksa prinsip negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Di sinilah penegakan hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan, demi mempertahankan status quo. Ketika hukum dipakai sebagai sarana legitimasi kekuasaan, maka ia menjadi tunggangan politik”.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Toni Haryadi, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *