GAGASAN
UU ITE dan Kebebasan Pers
Oleh: Moh. Sandy Ari Susanto, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya dikenal dengan sebutan UU ITE) yang diberlakukan di Indonesia sering menuai kontroversi. Penegakan hukum UU ITE telah menjadi subjek perdebatan dan sorotan yang luas khususnya terkait dengan kebebasan berpendapat termasuk wartawan. UU ITE yang diharapkan untuk mengatur dan melindungi penggunaan informasi dan transaksi elektronik secara benar, namun pelaksanaannya sebaliknya. Bahkan telah menimbulkan ketegangan dengan kebebasan pers khususnya wartawan.
Wartawan memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan berpendapat dan memberikan informasi kepada masyarakat. Namun pelaksanaan UU ITE telah memberikan dampak yang signifikan terhadap wartawan dan kebebasan pers. Wartawan sering kali menghadapi ancaman hukum yang didasarkan pada ketentuan UU ITE.
UU ITE membatasi kebebasan wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pemberitaan kritis, pengungkapan informasi yang penting bagi masyarakat, dan penegakan akuntabilitas publik menjadi terhambat akibat ketentuan-ketentuan yang ambigu dalam UU ITE. Ketegangan antara UU ITE dan kebebasan berpendapat wartawan menciptakan tantangan besar dalam praktik jurnalistik. Bahkan dampaknya dapat meluas pada kebebasan pers dan demokrasi.
Hal ini menunjukan bwa di Indonesia, pers menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan kebebasan persnya. Beberapa tantangan tersebut terkait dengan ancaman hukum dan regulasi yang membatasi kebebasan pers. Tentu ini merupakan kemunduran demokrasi dan kebebasan sipil.
Memang, UU ITE memiliki tujuan dalam melindungi penggunaan informasi dan transaksi elektronik. Namun perlu meninjau kembali dan memperbaiki ketentuan dalam UU ITE agar sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers dan demokrasi. Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat wartawan dan integritas jurnalistik menjadi penting dalam memastikan keberlanjutan kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.
Membatasi kebebasan pers dapat menyebabkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas, yang dapat merusak demokrasi. Penting untuk melindungi kebebasan pers. Harus dipastikan bahwa bahwa jurnalis dapat menjalankan pekerjaannya tanpa takut intimidasi ataupun kriminalisasi.
Kemerdekaan pers atau kebebasan pers disebutkan dalam Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dengan jelas menyebutkan “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Ada beberapa hak yang dikenal dalam UU Pers, yaitu :
Hak tolak, maksudnya wartawan mempunyai hak tolak dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Hak tolak merupakan hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Hak jawab, maksudnya pers wajib melayani hak jawab, yang mana hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi, maksudnya pers wajib melayani hak koreksi, yang mana hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Dewan Pers bertanggung jawab menegakkan kode etik jurnalis di Indonesia. Kode etik tersebut tertuang dalam Peraturan Dewan Pers. Peran kode etik untuk membentuk profesionalisme jurnalis dan memastikan bahwa mereka menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak dengan itikad buruk. Sebab, di era kebebasan media, penting bagi jurnalis untuk memiliki pemahaman yang memadai tentang status profesional jurnalis dan mematuhi standar etika. Dewan Pers berperan penting dalam memastikan jurnalis di Indonesia mematuhi standar etika dan menjaga profesionalitasnya.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Moh. Sandy Ari Susanto, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal