GAGASAN
Bagian 2: Indonesia Darurat Kejahatan Seksual terhadap Anak
Oleh: Prof. Dr. Hamidah Abdurrachman , M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada 2021, yang mencapai 8.730. Jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2023 sebanyak 14.759 kasus kekerasan seksual, terdiri dari 2.888 kasus kekerasan seksual pada laki-laki, dan 13.162 kasus kekerasan seksual pada perempuan.
Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022 kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38.21%) diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%). Sedangkan data dari lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan seksual (4102 kasus/26.52%%). Jika dilihat lebih terperinci pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi (1.127 kasus), sementara di ranah personal yang terbanyak kekerasan psikis (1.494)
Upaya memberikan Perlindungan kepada Anak-anak
Perangkat hukum saja tidak cukup untuk melindungi anak. Perlu kerjasama orang tua dan masyarakat untuk sama-sama melakukan aksi perlindungan perempuan dan anak. Kalau selama ini keluarga adalah tempat teraman anak, ternyat tidak, justru kekerasan seksual terhadap anak terjadi dalam lingkup keluarga. Anak-anak yang dicabuli oleh ayah, kakek, paman dst tanpa dapat melawan. Kekerasan seksual ayng dilakukan anak adalah bentuk lunturnya keimanan manusia terhadap hukum agama.
Diluar rumah, orang tua harus mewaspadai orang-orang di Sekitar Anak, termasuk teman apalagi yang diakui sebagai pacar. Orang tua harus mengenal dengan baik siapa teman atau pacar anak-anak ini. Erlu ketegasan orang tua agar anak tidak keluar pada malam hari. Sinyal keras untuk orang tua agar pegang erat anak perempuannya.
Banyak kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak dilakukan oleh orang-orang di sekitar anak. Boleh dikata orang yang mempunyai niat jahat itu biasanya yang memiliki hubungan baik dengan anak.
Sumber utama kekerasan seksual nampaknya bersumber dari dengan mudahnya mengakses situs pornografi yang seharusnya memang menjadi perhatian pemerintah khsususnya Kementerian Kominfo. Namun sampai saat ini nampaknya Pemerintah belum berbuat banyak.
Secara hukum, ancaman sanksi terhadap kekerasan seksual sudah cukup memadai:
Pasal 76 c UU No. 35 Tahun 2014 mengatur “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak.”
Pasal 80 (1) UU No. 35 Tahun 2014: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).” Selain itu, apabila mengakibatkan luka berat maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta ruapiah).
Pasal 80 (2) UU No. 35 Tahun 2014
“Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Merangkul anak-anak dan menanamkan kepada mereka nilai-nilai yang baik nampaknya wajib dilakukan para orang tua, memberikan pendidikan agama yang benar dan mengawasi kegiatan anak sehari-hari dan terus membimbing ana-anak kepada hal positif. Terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual sangat rentan mengalami trauma. Jangan biarkan traumanya berkepanjangan. Selalu perkuat insting orang tua mengenai keselamatan anak. Perhatikan perubahan perilaku yang perlu diwaspadai, seperti anak menarik diri dari pergaulan atau orang tuanya, menjadi pendiam, tidak nafsu makan, pemurung, mudah rewel atau marah, dan sebagainya. Menjaga dan melindungi anak adalah prioritas yang tidak boleh kalah dengan kesibukan orang tua bekerja atau melakukan aktifitas lain.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Prof. Dr. Hamidah Abdurrachman, M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal