Jogjakartanews
Beranda Mimbar Rakyat
Mimbar Rakyat
Benarkah Jalur Khusus Pada RKUHAP Melanggar HAM?
Oleh: Anggun Intan Nur Amalia Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Mukharom - HAM, RKUHAP
6 April 2024
Dalam upaya pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia yang tercermin dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP (RUU KUHAP), terjadi integrasi beberapa konsep hukum dari berbagai negara. RUU KUHAP melahirkan aturan baru yang bisa di sebut jalur khusus. Penyebab dari tindakan yang di proses melalui jalur khusus dalam RUU KUHAP dapat dilacak kembali ke konsep sidang pengaduan yang telah diterapkan dalam sistem hukum negara-negara common law seperti Amerika Serikat,Inggris, Kanada, Wales, Pakistan dan India. Tak hanya itu konsep serupa juga telah berkembang dan diterapkan di negara-negara dengan sistem hukum civil law seperti Prancis, Georgia, Italia, Jerman, Polandia dan Belanda. Konsep- konsep ini kemudian diadopsi dan disesuaikan ke dalam RUU KUHAP sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukun acara di Indonesia
Tradisi hukum di negara-negara yang termasuk dalam sistem Anglo Saxon, terdapat praktik hukum yang dikenal sebagai “Plea Bargaining”. Praktik ini melibatkan terdakwa yang mengakui kesalahannya, yang kemudian menawarkan pengakuan bersalah sebagai bagian dari perjanjian, yang berpotensi memberikan pengurangan hukuman. Proses ini melibatkan negosiasi antara jaksa dan terdakwa untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, yang kemudian diserahkan kepada persetujuan pengadilan. Biasanya terdakwa setuju untuk mengaku bersalah dengan harapan mendapatkan pembebasan atau mendapatkan manfaat lain yang dapat mengakibatkan pengurangan hukum.
Adopsi konsep plea bargaining bertujuan untuk mempercepat penyelesaian perkara pidana, mengurangi beban kerja lembaga peradilan, dan meningkatkan efisiensi sistem peradilan pidana. Terkadang, dalam situasi tertentu, plea bargaining juga dapat membantu mengurangi biaya dan waktu yang diperlukan untuk sidang pengadilan. Namun, pengaturan plea bargaining harus dilakukan dengan cermat agar tidak melanggar prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan hak asasi manusia
Pengakuan menjadi persyaratan pokok bagi penerapan konsep pengakuan bersalah secara spesifik dalam RUU KUHAP. Pengakuan di hadapan hakim dalam persidangan merujuk pada pernyataan satu pihak, baik secara tertulis maupun lisan, yang secara jelas mengakui sebagian atau keseluruhan dari peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang ditentang oleh pihak lawan, sehingga menghilangkan kebutuhan akan persidangan pengadilan. Pengakuan di hadapan hakim di pengadilan memberikan bukti yang kuat terhadap pihak yang mengakui, baik secara terbuka maupun dalam lingkungan tertutup. Pengakuan bersalah dalam konteks spesifik RUU KUHAP bertentangan dengan prinsip non-self incrimination yang dimaksudkan untuk melindungi hak individu dari paksaan untuk bersaksi melawan dirinya sendiri. Namun, penggunaan pengakuan bersalah dalam jalur khusus RUU KUHAP bisa merusak hak ini dengan memaksa tersangka atau terdakwa untuk memberikan pengakuan yang mungkin merugikan dirinya sendiri, tanpa memastikan bahwa pengakuan tersebut didasarkan pada kehendak bebas dari terdakwa. Pengakuan bersalah dalam jalur khusus RUU KUHAP dapat melanggar prinsip non-self incrimination karena menuntut kewajiban bagi tersangka atau terdakwa untuk memberikan pengakuan yang dapat merugikan dirinya sendiri
Ini bisa melanggar hak-hak individu dan berpotensi menyebabkan ketidakadilan serta risiko pengakuan palsu. Dalam pengembangan peraturan, penting untuk mempertimbangkan prinsip perlindungan terhadap pengakuan yang dapat merugikan diri sendiri guna memastikan terwujudnya keadilan dan kebebasan dalam sistem peradilan pidana. Penggunaan pengakuan bersalah dalam jalur khusus juga berpotensi membatasi kebebasan berekspresi individu dan dapat mengorbankan prinsip keadilan dalam proses hukum. Terdapat risiko tekanan, pengaruh, atau pengakuan palsu yang mungkin terjadi dalam konteks jalur khusus, yang dapat mengancam integritas sistem peradilan pidana. Di sisi lain, dalam konsep plea bargaining, terdakwa mendapatkan keuntungan dengan melakukan negosiasi dengan penuntut umum mengenai sanksi atau dakwaan yang akan dijatuhkan. Namun, jika terdakwa sudah mencapai kesepakatan dengan jaksa penuntut umum, berarti terdakwa secara sukarela telah mengesampingkan prinsip perlindungan terhadap pengakuan yang merugikan diri sendiri.
Jika diperhatikan dari Pasal 199 RUU KUHAP ayat 1, disebutkan bahwa “Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat”. Namun, dari kelanjutan pasal tersebut, khususnya pada Pasal 199 RUU KUHAP ayat 3 poin a, dijelaskan bahwa “hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-hak yang dilepaskannya dengan memberikan pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Tentu melihat hal tersebut bisa dikatakan bahwa kecurigaan pada pasal 199 RUU KUHAP merupakan pasal yang melanggar HAM adalah tidak benar. Sebab sudah dijelaskan bahwa ada persetujuan terkait terdakwa menyetujuinya serta peran hakim yang telah memberitahu ada hak yang dilepaskannya. Namun hal ini bukanlah suatu yang mutlak sebab RUU KUHAP masih menjadi sebuah rancangan hukum yang masih kemungkinan besar selalu berubah-rubah.
Dikutip dari berbagai sumber. (*)
*Anggun Intan Nur Amalia adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal