Problematika Pilkada Serentak di Masa Pandemi COVID-19
Oleh : Dr. Fajar Ari Sudewo, SH.,MH,
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Pancasakti Tegal.
Potret Wabah Corona Virus Disease (COVID-19) yang dialami hampir seluruh negara di dunia, saat ini memasuki fase upaya pencegahan COVID-19 dengan berbagai cara, termasuk pencegahan dengan menggunakan antivirus. Meskipun tahap ini masih harus melalui berbagai tahapan kelayakan sebelum diberikan kepada pasien, termasuk di Indonesia yang sampai hari ini masih dilakukan uji kelayakan.Wabah COVID-19 telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, di masyarakat, termasuk di Indonesia, berbagai kebijakan hukum telah dilakukan guna memutus mata rantai penyebarannya, baik melalui PSBB, Lockdown, Isolasi RS maupun Isolasi Mandiri.
Di tengah-tengah mewabahnya COVID-19 saat ini, beberapa wilayah di Negara Indonesia akan memiliki hajat besar, yang merupakan pesta rakyat lima tahunan, yakni pilkada serentak tahun 2020 yang diselenggarakan secara serentak pada hari Rabu, 9 Desember 2020.
Tidak bisa dipungkiri hajat besar tersebut akan menjadi konsentrasi kerumunan massa yang memiliki potensi sangat besar adanya penyebaran COVID-19, mengingat tahapan yang ada mulai dari tahap pendaftaran calon, kampanye sampai dengan tahap pemungutan suara tidak lepas dari kerumunan massa, yang dangat dikhawatirkan protokol kesehatan terabaikan.Penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020 untuk memilih 9 Gubenur, 224 Bupati, dan 37 walikota secara serentak dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota.Yang selanjutnya Perpu tersebut telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 6 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Penulis menilai dari peraturan perundang-undangan yang sudah diterbitkan tersebut ada beberapa problematika yang masih menjadi bahan diskusi, apalagi dalam hal Pilkada serentak pasti akan melibatkan berbagai instansi dan berbagai pihak. Problematika tersebut diantaranya adalah : Meskipun Undang-undang No. 6 tahun 2020 mengakomodir substansi norma bahwa Pilkada 2020 dapat ditunda apabila situasi tidak memungkinkan, namun ketentuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak efektif dan tidak ada kepastian dan sangat sulit dalam implementasinya, sebab apabila terjadi penundaan Pilkada sangat berdampak kepada anggaran para calon kontestan.
Undang-undang No. 6 tahun 2020 ini tidak secara otomatis menjadi dasar hukum bagi KPU untuk melakukan diskresi dalam menilai situasi pandemi COVID-19 di suatu wilayah apakah dapat dianggap mengganggu penyelenggaraan pilkada, artinya untuk menentukan situasi Pandemi COVID-19 menggangu situasi Pilkada atau tidak, apakah kewenangan ada pada instansi lain, misalnya Kementerian Kesehatan, sebagaimana yang berlaku pada Undang-undang Kesehatan (Wabah Menular), Atau kewenangan instansi penegak hukum yang diatur dalam Undang-Undang Kekaratinaan Nasional )Selain itu yang perlu menjadi perhatian titik rawan Pelanggaran saat Pilkada adalah sebuah tindakan pelanggaran yang sudah lazim, baik yang disengaja maupun tidak, legal atau illegal, meskipun Pelanggaran tersebut tergantung dari ketat tidaknya aturan main dalam proses elektoral dan antisipasi pencegahan agar pelanggaran bisa dihindari. Kelalaian atau kecerobohan akibat ketidakhati-hatian dalam menerapkan tahapan pemilu harus dihindari.
Potensi pelanggaran pada Pilkada serentak tahun 2020 bisa saja terjadi, terutama menyangkut ketertiban melaksanakan protokol kesehatan. Meskipun Pemerintah, DPR bersama KPU dan. Bawaslu sepakat membuat aturan baru agar proses Pilkada Serentak 2020 tetap berlangsung sesuai protokol kesehatan, misal pembatasan jumalh pemilih Tiap TPS, kewajiban memakai masker untuk petugas maupun pemilih, menyiapkan alat cuci, larangan salaman, pengaturan jam kedatangan di TPS, menerapkan physical distancing tetap menjadi perhatian agar tidak terjadi pelanggaran.
Potensi pelanggaran baru dengan modus pembagian masker saat hari pemungutan suara pada 9 Desember 2020 bisa saja terjadi, Saat penggunaan masker di TPS diwajibkan, dapat membuka ruang bagi oknum menyusup ke TPS dan memilih calon tertentu, apalagi petugas KPPS di TPS tidak mengenali wajah seluruh pemilih di wilayah tersebut saat mereka mengenakan masker. Resiko terburuk adalah pada saat pelaksanaan, jaminan petugas tidak terinfeksi Covid-19 menjadi hal yang harus diperhatikan, jangan sampai muncul klaster baru di Pilkada serentak.
Solusi dan antisipatifMelihat kondisi potensi-potensi pelanggaran protokol kesehatan yang bisa berpotensi pada terpaparnya COVID-19, maka para petugas KPPS di TPS harus mendapat perhatian khusus dari Penyelenggara pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020.Penyelenggara Pilkada 2020, baik KPU maupun Bawaslu harus membuat sejumlah peta jalan (road map) untuk mengantisipasi berbagai tingkat kemungkinan pelanggaran di atas, bagi praktisi maupun akademisi seperti pegiat Pemilukada bisa memberikan Bimbingan dan Konsultasi kepada penyelenggara maupun calon. Tujuannya agar Pilkada 2020 tidak disebut sebagai pilkada yang paling buruk atau pilkada yang tidak berintegritas.
Peningkatan koordinasi antara penyelenggara pemilu dan Pemerintah termasuk pihak kepolisian dalam penetapan road map guna meminimalisir kemungkinan yang tidak terduga sebagai dampak situasi pandemi COVID-19 dalam penyelenggaraan Pilkada 2020.