Prospek Penerapan Restorative Justice dalam Penanganan Perkara Pidana ke Depan
Oleh : Dessy Kusuma Dewi
Mahasiswa Fakultas HukumUniversitas Pancasakti Tegal.
Seperti telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja No. 15/2020). Jaksa Penuntut Umum (JPU) berhak menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam kasus-kasus tertentu, apabila pihak korban dan terdakwa sudah sepakat damai.
Keluarnya Perja tersebut dapat menjadi harapan masyarakat yang selama ini sering menyoroti kasus-kasus pidana kecil yang tidak layak diteruskan ke proses persidangan.Jaksa merupakan salah satu alat negara yang melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan. Masyarakat banyak yang menyamakan antara Jaksa dengan penuntut umum. Padahal hal tersebut sesuatu yang berbeda. Jaksa dalam melaksankan tugas dan kewenangannya berpedoman pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kajaksaan Republik Indonesia sebagaimana di atur dalam pasal 30. Undang-undang tersebut membedakan kewenangan yang dimiliki oleh penunutut umum dan Jaksa Agung.
Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa jaksa hanya dapat menghentikan penuntutan demi kepentingan hukum apabila tersangka meninggal dunia, nebis in idem, tidak cukup bukti, dan perkara daluarsa. Kewenangan penghentian penuntutan demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat 1 huruf c Undang-undang Kejaksaan (Sofyan & Azis, 2014). Sedangkan penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Konsekuensinya apabila ada proses perdamaian antara korban dan pelaku pidana di tahap penuntutan, penuntut umum tetap melanjutkan perkara hingga memperoleh kekuatan hukum tetap.
Orientasinya lebih pada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum. Sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defense yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Seharusnya sistem peradilan pidana juga harus memperhatikan aspek sosial yang menitik beratkan kegunaan (expediency) (Atasasmita, 2020). Tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana adalah mengurangi kejahatan dan residivisme. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dalam untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Apabila tujuan ini tidak tercapai maka dapat dipastikan sistem peradilan tidak berjalan secara wajar (Zaidan, 2015).
Gustav Radbruch menyebutkan bahwa hukum tersusun dari tiga nilai dasar, yaitu keadilan, kegunaan, dan kepastian. Ketiga nilai tersebut terdapat hubungan tarik-menarik yang menghasilkan ketegangan (spannungsverhaltnis). Hal ini terjadi karena ketiganya berisi tuntutan yang berlainan dan mengandung potensi untuk saling bertentangan (Rahardjo, 2006).
Perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Sebab dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum. Begitu juga sebaliknya, apabila terjadi terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan (Erwin, 2012).
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Keadilan juga menjadi dasar dari hukum positif yang bermartabat (Mangesti & Tanya, 2014). Hukum sebagai pengemban nilai keadilan dan keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif. Normatif karena kepada keadilanlah hukum positif berpangkal.
Tujuan hukum pidana adalah untuk menegakkan ketertiban hukum, melindungi masyarakat hukum, karena pada prakteknya penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung dari paksaan (Hamzah, 2012).Sumber hukum pidana ada yang materiil dan ada yang formil. Sumber hukum materil yaitu KUHP dan Undang-undang pidana lain di luar KUHP. Sedangkan sumber hukum formil adalah KUHAP dan Undang-undang lain yang mengatur tentang peradilan pidana yang tidak diatur dalam KUHAP. Hukum pidana materiil merupakan aturan yang terdiri atas norma-norma yang di dalamnya berisi keharusan dan larangan yang telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus (Lamintang, 1997).
Hukum pidana formil bertujuan untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil. Suatu hal yang lebih penting lagi adalah untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang tertib hukum untuk mencapai masyarkat yang adil, tentram, damai, dan sejahtera yang menurut istilah jawa “tata tentrem kerta rahaja” (Hamzah, 1998). Negara tentunya tidak dapat melaksanakan sendiri dalam menanggulangi kejahatan dan untuk menciptakan masyarakat yang adil, tentram, damai dan sejahtera, sehingga memerlukan alat negara.