Puasa dan Takwa
Oleh: Dr. Achmad Irwan Hamzani, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Umat Islam kembali memasuki bulan Ramadhan, bulan diwajibkan menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Puasa merupakan ritual tahunan dengan tujuan membentuk pribadi yang bertakwa. Tujuan tersebut disebutkan oleh Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.
”Puasa sebagai sebuah kewajiban dalam bentuk ibadah ritual, harus diterima tanpa reserve, penuh ketaatan dan keimanan. Pelaksanaannya mengikuti yang diperintahkan al-Qur’an dan dicontohkan Rasulullah Saw. yang termuat dalam hadits-hadits otentik. Demikian pula dengan tujuan puasa, Allah menentukan agar orang yang berpuasa menjadi orang yang bertakwa.
Manifest puasa dengan kriteria sebagai muttaqin akan menentukan kualitas di hadapan Allah Swt. Perbedaan hakiki manusia tidak berada pada kedudukan, jabatan, pangkat, kekayaan dan lainnya. Manusia dibedakan dengan kadar dan bobot nilai mereka di mata Allah. Perbedaan antar manusia dalam agama Islam terletak pada sejauh mana manusia mampu mengoptimalkan kadar ruhaninya untuk mendekat pada Allah. Perbedaan manusia dan kemuliaan manusia ditentukan oleh nilai dan kadar taqwanya. Disebutkan dalam Q. S. al-Hujurat [49] ayat 13: Inna akramakum ’indallahi atqakum (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu).
Demikian pula disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudhari bahwa: ”Hendaknya kamu bertaqwa sebab ia adalah kumpulan segala kebaikan …”. Takwa merupakan kumpulan semua kebaikan yang hakikatnya merupakan tindakan seseorang untuk melindungi dirinya dari hukuman Allah dengan ketundukan total kepada-Nya. Asal-usul takwa adalah menjaga dari kemusyrikan, dosa dan kejahatan dan hal-hal yang meragukan (syubhat).Seruan Allah pada surat Ali Imran ayat 102 yang berbunyi, “Bertaqwalah kamu sekalian dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam keadaan muslim”, bermakna bahwa Allah harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.
Takwa merupakan bentuk ketaatan kepada Allah seakan-akan melihat-Nya dan jika tidak melihat-Nya maka ketahuilah bahwa Dia Maha Melihat, atau yang sering disebut dengan ihsan. Takwa kepada Allah adalah jika dalam pandangan Allah seseorang selalu berada dalam keadaan tidak melakukan apa yang dilarang-Nya, dan Dia melihatnya selalu melakukan kebaikan. Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Qur`an menyatakan takwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri kehidupan. Banyak ayat Al-Qur`an yang menyerukan untuk bertakwa dalam bingkai takwa yang sebenarnya, dalam kadar takwa yang semestinya, dalam bobot takwa yang mampu dilakukan.
Seseorang akan disebut bertaqwa jika memiliki beberapa ciri. Dia seorang yang melakukan rukun Iman dan Islam, menepati janji, jujur kepada Allah, dirinya dan manusia dan menjaga amanah. Dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Manusia takwa adalah sosok yang tidak pernah menyakiti dan tidak zhalim pada sesama, berlaku adil di waktu marah, bertaubat dan selalu beristighfar kepada Allah. Manusia takwa adalah manusia yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sabar dalam kesempitan dan penderitaan, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, tidak peduli pada celaan orang-orang yang suka mencela.
Agar seseorang bisa mencapai takwa diperlukan saran-sarana. Dia harus merasa selalu berada dalam pengawasan Allah, memperbanyak dzikir, memiliki rasa takut dan harap kepada Allah, dan komitmen pada agama Allah. Meneladani perilaku para salaf al-shalih, memperdalam dan memperluas ilmu pengetahuannya.
Selain itu, agar seseorang bertakwa dia harus selalu berteman dengan orang-orang yang baik, menjauhi pergaulan yang tidak sehat dan kotor. Sahabat yang baik laksana penjual minyak wangi dimanapun dekat maka akan terasa wanginya dan teman jahat laksana tukang besi, jika membakar pasti akan terkena kotoran abunya (HR. Bukhari).Membaca Al-Qur`an dengan penuh perenungan dan mengambil ‘ibrah juga merupakan sarana yang tak kalah pentingnya untuk mendaki tangga-tangga menuju puncak takwa. Instrospeksi, menghayati keagungan Allah, berdoa dengan khusyu’ adalah sarana lain yang bisa mengantarkan kita ke gerbang taqwa. Pakaian dan makanan kita yang halal dan thayyib serta membunuh angan yang jahat juga sarana yang demikian dahsyat yang akan membawa kita menuju singgasana taqwa.
Sebenarnya cukup banyak ayat al-Qur’an yang mendeskripsikan kriteria takwa. Misalnya Q.S. Ali Imran ayat 133-134: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Q.S. Ali Imran: 133-134.
Menurut ayat di atas ada empat indikator yang menandai ketakwaan seseorang. Pertama, orang-orang yang senantiasa menginfakan hartanya di saat lapang maupun sempit. Mereka ini disebut mempunyai kecerdasan finansial. Kedua, orang-orang yang bisa mengendalikan amarahnya. Mereka disebut memiliki kecerdasan emosional. Ketiga, mudah memafkan, termasuk segera meminta maaf ketika salah. Mereka disebut mempunyai kecerdasan sosial. Tanda orang yang memiliki kecerdasan sosial juga dapat dilihat dari pergaulannya sehari-hari, apakah mereka diterima masyarakat lingkungannya atau dijauhi.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dr. AI Hamzani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal