Menjerat Pelaku Penodaan Agama di Luar Negeri dengan Asas Nasionalitas Pasif dan UU ITE
Dipublikasikan pada 22 April 2021.
Oleh : Imam Asmarudin, SH.,MH.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal)
Umat muslim khususnya di Indonesia di tengah-tengah khusyuknya menjalankan ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan secara emosional kembali diuji dengan pangakuan seseorang yang mengaku dirinya sebagai nabi ke-26, nama Jozeph Paul Zhang alias Shindy Paul Soerjomoelyono mulai ramai dibicarakan baik di media cetak maupun elektronik.Jozeph menyampaikan dalam forum diskusi via zoom yang juga ditayangkan di saluran YouTube milik Jozeph. Bahkan Jozeph Paul Zhang menantang siapa saja yang berani melaporkan dirinya ke kepolisian.
Saat ini atas perbuatannya, Jozeph Paul Zhang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian, yakni diduga melanggar ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE karena melakukan ujaran kebencian dan Pasal 156a KUHP karena melakukan penodaan agama.Namun, Jozeph Paul Zhang mengklaim bahwa saat ini sudah berada di bawah hukum Uni Eropa karena diduga berada di negara Jerman, sehingga hukum Indonesia dianggap tidak mampu menjangkau dan menjeratnya, sehingga merasa lepas dari jeratan hukum Indonesia.
Dengan kondisi yang seperti itu menjadi sebuah perdebatan dan rasa penasaran publik dapatkah pemerintah Indonesia melalui kepolisian Republik Indonesia untuk memproses hukum dan menjerat yang bersangkutan yang mengaku berada di bawah hukum Uni Eropa untuk diadili di Indonesia.
Jangkauan hukum nasional terhadap warga negara pelaku kejahatan/kriminal yang ada di luar negeri memang sering menjadi sebuah perdebatan, mengingat dalam konsep hukum internasional dikenal istilah Sovereignty (kedaulatan) yang berkaitan sekali dengan yurisdiksi.Artinya di dalam suatu kedaulatan terdapat suatu wilayah kewenangan/yurisdiksi yang melekat dan tidak dapat terpisahkan dari kedaulatan itu sendiri, meskipun demikian dalam mengimplementasikan kedaulatan negara, negara memiliki wilayah yurisdiksi.
Yurisdiksi ini diperoleh dan bersumber pada kedaulatan negara, yaitu kewenangan atau kekuasaan negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalam batas wilayah negara dan setiap negara juga memiliki kewenangan untuk memperluas yurisdiksi kriminalnya terhadap suatu tindak pidana sepanjang implementasi perluasan yurisdiksi kriminal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang diakui masyarakat internasional.
Anda Wajib Minum Ini! Agar Tensi 120/80 dan Pembuluh Darah BersihBerkaca dari peristiwa dugaan tindak pidana penodaan agama yang dilakukan oleh Jozeph Paul Zhang alias Shindy Paul Soerjomoelyono yang menurut pihak berwenang masih berstatus WNI, namun kedudukannya berada diluar negeri menjadikan persoalan Yurisdiksi merupakan hal yang sangat krusial dan kompleks terutama menyangkut pengungkapan kejahatan di dunia maya yang bersifat internasional (international cybercrime), dengan adanya kepastian yurisdiksi, maka suatu negara memperoleh pengakuan dan kedaulatan penuh untuk berbagai aturan dan kebijaksanaan secara penuh, sehingga harus diakui bahwa menerapkan yurisdiksi yang tepat dalam kejahatan di dunia maya (cybercrime) bukan merupakan pekerjaan mudah, karena kejahatannya bersifat internasional sehingga banyak bersinggungan dengan kedaulatan banyak negara atau sistem hukum negara lain.
Asas Nasional Aktif dan Asas Nasional PasifBerkenaan dengan yurisdiksi tersebut, dalam hukum pidana dikenal beberapa asas yang menjadi dasar bagi pembentukan serta penerapan hukum. Asas-asas ini merupakan asas yang telah diakui oleh hukum Internasional sebagai dasar bagi suatu negara untuk menerapkan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Salah satu asas hukum dalam KUHP adalah asas nasional aktif (R. Soesilo menyebut dengan istilah prinsip nationaliteit aktief atau personaliteit), yakni suatu asas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara bagi setiap orang, warga Negara atau orang asing yang melanggar kepentingan hukum Indonesia, atau melakukan perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia di luar negeri, asas tersebut juga sering dikenal sebagai asas personalitas, hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia berada.
Selain itu dalam ketentuan pasal 4 KUHP juga dikenal asas Asas Nasional Pasif yang menyebutkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia, artinya undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing-yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia.
Asas Nasional Pasif dalam UU ITEPemberlakuan Asas Nasional Pasif dalam perkembanganya tidak hanya diatur dalam KUHP, perluasan asas tersebut juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik, yakni terdapat dalam ketentuan pasal 2 jo. Pasal 37 UU ITE yang berbunyi :Pasal 2 UU ITE:Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pasal 37 UU ITE:Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Adanya ketentuan pasal 2 menegaskan bahwa Undang-Undang ITE memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.Tindak pidana di bidang Teknologi Informasi atau Cybercrime adalah kejahatan tanpa batas, sangat berpotensi bersinggungan dengan yurisdiksi antarnegara.
Konsekuensi hukum terhadap perluasan Asas Nasionalitas Pasif dalam tindak pidana di bidang Teknologi Informasi, adalah setiap Negara yang berdaulat berhak melindungi kepentingan hukumnya untuk menangani kejahatan Teknologi Informasi yang berkaitan dengan Lintas Negara, UU ITE dapat di terapkan terhadap Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi yang Locus delictinya (tempat tindak pidana) diluar wilayah Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia tetap memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana di bidang Teknologi Informasi yang terjadi diluar wilayah Indonesia atau berwenangnya aparatur penegak hukum Republik Indonesia seperti kepolisian, kejaksaan,dan kehakiman dalam penyelesaian tindak pidana ini sekalipun pelaku berada di Luar Negeri dan Warga Negara Asing karena yang diserang adalah kepentingan Indonesia.
Asas Nasionalitas Pasif ini mampu memberikan kejelasan bagi Pelaku kejahatan yang memang harus di adili dengan hukum pidana Indonesia.Dengan adanya kepastian dan ketegasan baik dalam asas hukum yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), maupun dalam UU ITE, harus menjadi sebuah keoptimisan bagi Pemerintah Indonesia melalui Kepolisian Republik Indonesia untuk tetap menjerat terduga pelaku Penodaan Agama meskipun masih berada diluar negeri, selain itu demi menjaga harkat dan martabat Hukum Indonesia dimata dunia maka harus ada ketegasan dan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan persoalan dugaan penodaan agama ini, selain itu juga untuk menjaga suasana keharmonisan antar umat beragama didalam negeri. (adv/ima)