Kebebasan di Ambang Batas, Berpendapat yang Terbatas
Oleh: Dewi Kartika Candra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Perubahan zaman selalu ditandai dengan laju pengaruh teknologi yang kian maju dan meningkat. Tentunya pemanfaatan dari majunya teknologi pun dapat dirasakan oleh segala elemen masyarakat. Yang dulunya hanya dapat melihat dan mendapat informasi melalui media cetak, sekarang media virtual pun mampu menyaingi apa yang sudah ada.
Sebagai penyebar media informasi yang mencakup segala aspek untuk menambah ilmu pengetahuan dan informasi.Perkembangan ini pun memiliki 2 sisi pandang yang saling berbenturan. Yaitu sisi positif dan negatif, tentunya ini bisa terjadi apabila sang pengguna tersebut bijak atau tidak. Dalam artian pemanfaatan sebuah laju teknologi yang semakin baik, harus ada sosialisasi agar dapat digunakan dengan baik pula. Ajaran dan pembelajaran tentang sosialisasi penggunaan bijak internet perlu ditekankan pemanfaatnya.
Dan bentuk untuk mengajarkan bijak internet, Pemerintah mengatur sebuah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal ini bertujuan agar para pengguna dan penikmat media online mampu secara bijak memanfaatkan majunya teknologi. UU ITE ini mengatur agar warga negara mampu menjaga dan menggunakan media online dengan bijak, bersih, beretika dan produktif. Sehingga tidak membuat perpecahan dan atau kesalahpahaman antar pengguna.
UU ITE pun tak hanya Indonesia yang memberlakukannya. Negara-negara Assosiation of Southeast Asian Nations (ASEAN) seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dll telah telah memilki cyberlaw. Hal ini bertujuan untuk menegakkan dasar hukum dalam proses penegakkan hukum terhadap para pelanggar kejahatan yang menggunakan sarana elektronik seperti internet. Sehingga adapun Pemerintah memberlakukan UU ITE ini bermaksud untuk melindungi warga negara dari berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran yang menggunakan media elektronik. Namun dalam pemberlakuannya, muncul beberapa permasalahkan yang menimbulkan penolakan dari masyarakat.
Sebagian besar warga negara menganggap UU ITE ini masih perlu diperbaiki. Hal ini dikarenakan ada pasal karet yang memicu penolakan secara keras dari masyarakat. Tentunya kita tahu bahwa sebuah UU memang dibuat untuk mengatur agar masyakatnya tertib dan terarah agar keharmonisan dan kesejahteraan dapat terlaksana. Namun bagaimana keabsahan UU ITE tersebut dapat berjalan apabila masyarakat mengajukan penolakan atas keberlakuan UU tersebut.
Dalam UUD 1945 Pasal 28E menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Hal ini menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk mengemukakan pendapatnya dan memberikan argumen atas apa yang dirasakanya untuk diungkapkan. Walaupun pada Pasal 28J menjelaskan secara jelas bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta mengormati hak dan kebebasan orang lain. Dapat kita maklumi karena Indonesia memiliki berbagai macam suku budaya yang rukun dan harmonis, sehingga adanya pembatasan untuk saling menghargai dan menghormati diperlukan dan diatur dalam UUD 1945.
Namun pada saat UU ITE ini disahkan, terdapat beberapa pasal yang masih ditanyakan kejelasannya dan bahkan dianggap sebagai pasal karet. Salah satunya pada UU ITE Pasal 28 Ayat 2 yang menjelaskan setiap orang dilarang “dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujuka untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)”. Hal ini memiliki beberapa diksi yang mencakup hal yang luas dan dianggap multitafsir. Adapun penjatuhan pidana yang akan diberlakukan apabila melakukan ujaran kebencian. Apabila ini diberlakukan, bagaimana penilaian kualitas negara tentang pemberlakuan UU yang bahkan mendapat penolakan dari masyarakat karena dianggap multitafsir.
Dalam pasal tersebut, ada beberapa diksi yang menjadi point penting hal yang dianggap multitafsir. Yaitu kalimat “Barang siapa yang dengan sengaja menyebar informasi”, bagaimana perfektif sejauh mana informasi tersebut tersebar. Adapun bagaimana bila hal itu yang sebelumnya disebarkan hanya dalam forum privat, yang kemudian disebarkan oleh salah satu pihak yang terkait dalam forum tersebut. Lantas penjatuhan pidana tersebut akan diberikan kepada yang pertama menyampaikan dalam forum tersebut atau yang menyebarkan.Adapun kalimat “ujaran kebencian” yang belum dijelaskan bagaimaana intensitas standar yang dapat dikualifikasihan sebagai hal tersebut. Walaupun yang dimaksudkan adalah ucapan, hasutan dan perkataan ekstrim yang dimaksudkan sebagai kebencian yang bahkan akan menimbulkan kekerasan. Namun, hal ini tidak dijelaskan mengenai bentuk dari sifat dan perasaan tidak suka seseorang dapat tidaknya disebut ujaran kebencian atau pendapat (kritik).
Perlu diterangkan lebih jelas dahulu bagaimana perbedaan antara pendapat (kritik).dan ujaran kebencian. Hemat saya, pendapat atau kritis adalah ungkapan seseorang atau penilaian seseorang terhadap sesuatu yang ditentangnya. Ujaran kebencian adalah hasutan yang bersifat mengajak orang lain untuk membenci suatu kelompok lain. Padahal sudah jelas bahwa pendapat (kritik) itu dijamin secara konstitusional dan ujaran kebencian adalah hal yang dilarang yang diatur dalam UU.Padahal UU ITE ini telah diperkuat dengan Surat Edaran Kepolisisan Kepala POLRI Nomor SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (SE Hate Speech). Yang dimaksudkan sebagai bentuk jaminan Polri dalam menindak masalah ujaran kebencian.
Namun, bagaimana hal ini dapat dikatakan efektif kalau UU yang menjadi dasar hukumnya mendapat banyak penolakan keras. Tentunya harus ada peninjauan ulang mengenai hal yang multitafsir ini.Padahal adanya UU diadakan untuk mengatur tingkah laku dalam bermasyarakat dan bernegara. Dan fungsi kelembagaan sebagai penegak hukum adalah menjalankan hukum tersebut secara implementasinya. Namun, apabila ada kesinambungan pemahaman antara UU dan aparaturnya yang justru memperoleh penolakan keras dari masyarakat.
Manakah yang harus mendapat peninjauan ulang dan pemantapan agar dapat diterima masyarakat.Sebagaimana yang tadi dijelaskan memang setiap orang memiliki kebebasan mengemukakan pendapatnya. Yang kemudian diperkuat bahwa harus tunduk dalam batas yang diatur dalam UU agar tidak terjadi kesalahpahaman. Tentunya hal ini memang berkesinambungan untuk menjaga keharmonisan dan ketertiban negara.
Namun, ada baiknya suara rakyat sebagai pelaksana dan pemberlaku hukum yang diatur juga didengar agar tidak terjadi tumpang tindih kesalahpahaman.
Oleh: Dewi Kartika Candra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal