Permasalahan Tindak Pidana Money Laundering
Oleh: Nabilah Deska Ridjoti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Money Laundering atau pencucian uang merupakan suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana. Penyamaran umumnya melalui transaksi keuangan agar uang tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal.
Pelaku pencucian uang akan berusaha menyamarkan asal usul harta kekayaan dengan berbagai cara agar kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum. Dengan penyamaran itu, uang hasil kejahatan akan leluasanya digunakan baik untuk kegiatan yang legal maupun illegal.
Money laundering termasuk jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Sebab, umumnya jenis kejahatan ini dilakukan oleh orang dengan latar belakang pendidikan tinggi, memiliki status sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi, serta memiliki jaringan yang sangat luas. Dengan karakteristik demikian, sudah sewajarnya apabila pengungkapan kasus money laundering relatif berbeda dengan pengungkapan kejahatan konvensial.
Mengingat pelaku tindak pidana money laundering umumnya berasal dari kalangan masyarakat dengan tingkat intelektual yang tinggi, memiliki kekuasaan (sosial, politik maupun ekonomi) dan didukung dengan jaringan yang luas, maka pelaku dapat dengan mudah memperhitungkan secara cermat berbagai kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan kejahatan yang dilakukannya. Tujuannya untuk mengaburkan atau menutupi agar perbuatannya tidak terbongkar dan diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Tindak pidana money laundering sangat berbahaya, karena dapat mengancam stabilitas dan integrasi sistem perekonomian dan sistem keuangan. Selain itu, tindak pidana pencucian uang juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bahwa dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil pencucian uang yang dikenakan kepada setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, di samping memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, juga memerlukan komentment dari pemerintah. Sebab di Indonesia untuk menyelidiki tindakan yang diduga sebagai pencucian uang, ternyata memerlukan waktu yang cukup lama. Meskipun alasannya cukup masuk akal, karena pelaku menyamarkan harta atau uang yang dihasilkan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, tentunya hal tersebut bukan hambatan. Apalagi aparan penegak hukum, tentu memiliki perlatan yang kian canggih.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, membedakan tindak pidana pencucian uang dibedan menjadi 3 (tiga):
Pertama, tindak pidana pencucian uang aktif. Tindak pidana pencucian aktif yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, menukarkan dengan uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1).
Kedua, tindan pidana pencucian uang pasif. Tindak pidana pencucian pasif yaitu setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). Orang yang ikut menikmati juga dikenakan pidana.
Oleh: Nabilah Deska Ridjoti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal