Pelaku Incest Harus Layak Dikebiri
Oleh: Dr. Hamidah Abdurrachman , Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Perasaan geram bercampur sedih tidak dapat disembunyikan, ketika melihat Bunga yang baru saja melahirkan bayinya, hasil hubungan dengan ayahnya. Bayi yang dilahirkan prematur, karena ada gangguan kesehatan harus dirawat lanjut di RS. Ironisnya Bunga justru tidak mau menerima bayi tersebut dengan alasan masih ingin melanjutkan sekolah. Sang Bapak, pelaku kejahatan seksual menghilang entah kemana.
Kasus ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus kejahatan seksual yang terjadi dalam rumah tangga. Di media juga ramai dengan kisah tragis ini terjadi pada seorang Ibu yang melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya berusia masih di bawah 10 tahun. Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, ASN yang punya posisi di kantor Pemerintahan Daerah. Laporan sejak tahun 2019, bulan yang sama saat Lydia mendapati salah satu anaknya mengeluhkan area kewanitaanya yang sakit.
Polres Luwu Timur telah melakukan penyidikan dan menghentikan penyidikan karena belum memenuhi unsur pembuktian, berdasarkan hasil visum. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan mendapat pengaduan sebanyak 2.316 laporan kasus anak periode Januari-Juni 2021 atau selama pandemi COVID-19 tahun ini. 95 di antaranya aduan anak menjadi korban kejahatan seksual.
Data ini menunjukkan kekerasan seksual bukan hanya sebuah gosip, namun banyak terjadi di berbagai daerah.
Kejahatan IncestMenurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang sudah dirubah dengan UU No 35 Tahun 2014, orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melimdungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Sejalan dengan ini, kedua orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati, diberikan anugerah oleh Allah SWT berupa perasaan kasih sayang kepada anak-anak mereka, hingga keduanya merasa punya rasa tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi, dan membimbing keturunan mereka.
Alangkah ironis ketika terjadi kekerasan seksual terhadap anak, yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri (incest). Incest atau inses dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah hubungan seksual antara orang-orang yang bersaudara dekat.
Kriteria inses merupakan suatu hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat yang sengat dekat dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Sejalan dengan pendapat Sofyan S. Willis mengemukakan Incest adalah hubungan kelamin yang terjadi antara dua orang diluar nikah,sedangkan mereka adalah kerabat dekat sekali .
Hampir tidak dapat dipercayai bahwa pelaku Incest adalah orang yang justru dicintai an dipercayai untuk menjaganya: ayah, suami, paman, kerabat dan orang-orang di dalam rumah sendiri Hal yang cukup memprihatinkan kejahatan seksual yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tapi juga menimpa anak-anak.Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merumuskan “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan engannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiaha) dan paling sedikit Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
Dalam pasal ini, kejahatan seksual tersebut dapat dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 merumuskan Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Hukuman KebiriPemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak sebagai turunan dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Aturan ini memberikan kewenangan kepada negara untuk dapat menjatuhkan Tindakan Kebiri Kimia bagi Pelaku Persetubuhan terhadap Anak, yang mana tindakan kebiri kimia sebagai pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau menggunakan metode yang lain.Meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang pelaksaan hukuman kebiri, Pengadilan Negeri Mojokerto No.69/Pid.Sus/2019/PN.Mjk merupakan putusan pertama yang isinya memerintahkan penjatuhan tindakan kebiri kimia bagi Terpidana M. Aris, setelah selesai menjalani pidana penjara. Dalam UU No. 17 Tahun 2016 dan PP No. 70 Tahun 2020.
Hukuman kebiri kimia ini diberikan kepada pelaku dewasa yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang mana perbuatannya menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, yang bertujuan untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Tindakan kebiri kimia ini akan dijalankan setelah pelaku menjalani pidana pokoknya. Terbitnya peraturan ini diharapkan dapat menjadi jawaban tentang pelaksanaan tindakan kebiri kimia dalam praktik. Saya melihat untuk tidak berkembangnya kejahatan seksual terhadap anak dalam keluarga, hukuman kebiri ini dapat menjadi salah satu pertimbangan hakim, bagi pelaku incest.
Tujuan hukuman kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi adalah untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Penjatuhan tindakan kebiri kimia akan dibarengi dengan adanya pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi bagi pelaku.
Semua ini dilakukan dalam rangka tujuan besar kebijakan kriminal, melindungi masyarakat (khususnya anak-anak) dan diharapkan tumbuh general preventif bagi masyarakat.Oleh: Dr. Hamidah abdurrachman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal