Digital Banking dan Bank Digital dalam Tinjauan Hukum Perbankang
Oleh: Bagas Dwi Mulyantoro, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Perkembangan tekhnologi sekarang kian pesat. Istilah digital pun sudah tidak asing lagi di telinga kita, Industri perbankan pun sudah mulai bertransformasi, kini tekhnologi informasi sudah mulai memasuki Era Revolusi 4.0 yang dimana telah mengubah pola hidup masyarakat termasuk sektor perbankan, ditambah dengan ada nya Financial Technologi (Fintech).
Peningkatan penggunaan Teknologi Informasi dalam peningkatan layanan kepada nasabah secara personal mengarahkan Bank dalam suatu era baru yaitu era perbankan digital. Layanan kepada nasabah secara personal pada era perbankan digital dapat diwujudkan sejak hubungan usaha antara nasabah dengan Bank dimulai sampai dengan berakhir. Proses pembukaan rekening simpanan, eksekusi transaksi keuangan, hingga penutupan rekening simpanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan Teknologi Informasi.
Istilah Digital Banking dan Bank Digital juga kini sudah tidak asing saat ini, karena di era yang serba digital ini semua kegiatan masyarakat termasuk kegiatan perbankan sudah dimudahkan dengan adanya era digital ini.Digital Banking dan Bank digitalDigital Banking sendiri yakni suatu Bank Umum atau Bank Konvensional yang mempunyai layanan digital seperti Internet Banking, dan Mobile Banking. Pada layanan Digital Banking suatu bank konvensial itu sendiri terdiri dari onboarding nasabah atau pembuatan rekening, sampai pengelolaan transaksi melalui digital channel.
Namun dibalik itu, perbankan konvensional masih tetap memiliki channel layanan fisik seperti ATM, dan juga mempunyai cabang atau kantor kas, untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang sangat beragam dan kompleks. Bank konvensional dengan layanan digital umumnya mempunyai segmentasi nasabah yang lebih luas mulai dari payroll, mass, emerging affluent, primer dan juga private dengan kebutuhan dan karakteristik yang berbeda bagi setiap segmentasi.
Bank Digital sendiri meskipun memiliki istilah yang hampir mirip dengan Digital Banking, Namun secara garis besar merupakan suatu bisnis bank yang menyediakan atau menjalankan kegiatan saha utamanya melalui saluran elektronik terutama aplikasi mobile banking dengan keberadaan kantor fisik yang terbatas atau bahkan tanpa kantor fisik bank. Secara umum, bank digital cukup memiliki satu kantor yakni kantor pusat untuk menjalankan kegiatan usahanya secara digital, Bank Digital juga bisa merupakan bank baru maupun bank lama yang bertranformasi.
Dari pengertian diatas Digital Banking maupun Bank Digital Masing masing ada regulasi atau aturan yang mengaturnya karena pada sisi lain layanan Perbankan Digital maupun Bank Digital meningkatkan risiko yang akan dihadapi, terutama terkait dengan risiko operasional, risiko strategi, dan risiko reputasi.
Regulasi Digital Banking diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.12/POJK.03/2018 Tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital Oleh Bank Umum. Dari diterbitkannya Regulasi ini diharapkan Bank dapat menyelenggarakan Layanan Perbankan Digital dengan tetap mengedepankan manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi. Sedangkan untuk Bank Digital Otoritas Jasa Keuangan atau OJK telah merilis peraturan baru terkait bank umum, yang di antaranya menjelaskan mengenai bank digital, Peraturan OJK nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum memaparkan definisi resmi bank digital.
Peraturan OJK nomor 12/POJK.03/2021 Bab IV tentang Bank Digital, dijelaskan semua bank BHI dapat beroperasi sebagai bank digital. Meskipun mendefinisikan bank digital, OJK secara umum hanya membagi dua jenis bank yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat sesuai dengan Undang-Undang Perbankan. OJK tidak mendefinisikan bank digital sebagai suatu bank jenis baru. Hal tersebut menggunakan pendekatan facilitate establishment of digital bank di mana tidak ada pengaturan secara khusus mengenai bank digital. pendekatan ini dipakai Australia dan Inggris untuk mengatur bank digital yang ada di sana.
Dari regulasi tersebut maka seluruh perbankan yang ada di Indonesia terutama Bank yang menyelenggarakan Layanan Perbankan digital ada beberapa hal yang wajib dilakukan: Pertama, bank wajib menyampaikan laporan realisasi Layanan Perbankan Elektronik atau Layanan Perbankan Digital kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan setelah implementasi .
Bank wajib menyampaikan laporan kondisi terkini penggunaan Teknologi Informasi, laporan rencana pengembangan Teknologi Informasi, laporan hasil audit Teknologi Informasi, dan laporan insidentil dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi yang terkait dengan Layanan Perbankan Elektronik atau Layanan Perbankan Digital.Bank yang tidak memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam POJK No.12/POJK.03/2018 Pasal 22 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan; atau denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan, bagi Bank yang belum menyampaikan laporan setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
Lalu untuk Bank Digital Untuk pendirian bank baru, OJK mewajibkan investor pengendali menyediakan modal inti minimal senilai Rp 10 triliun. Untuk bank umum yang ditransformasikan menjadi bank digital, pemilik bank harus memenuhi ketentuan permodalan yang berlaku.Kedua, bank yang menyandang status digital memperoleh sejumlah keistimewaan. Bank digital boleh beroperasi hanya dengan satu kantor pusat atau menjalankan bisnis dengan kantor fisik dalam jumlah yang terbatas. Regulasi ini memberi ruang bagi bank digital untuk mengurangi jaringan kantor atau layanan fisiknya.
Selaras dengan hal tersebut, dalam rangka menghadapi era perkembangan tekhnologi digital sekarang banyak kejahatan digital yang dilakukan, salah satunya maraknya praktek pinjaman online atau fintech lending, masyrakat harus bisa mengenali perbedaan fintech lending legal yang terdaftar dan berizin di OJK .
Pinjol illegal biasanya sangat mudah memberikan pinjaman dengan informasi bunga dan denda pinjaman yang tidak jelas dan tidak berbatas. Sedangkan fintech lending legal, melakukan seleksi dalam pemberian pinjaman, memberikan informasi biaya pinjaman dan denda secara transparan, serta total biaya pinjaman maksimal 0,8 persen per hari. Fintech lending resmi akan memasukkan ke dalam daftar hitam fintech data center. Kemudian, fintech lending legal juga mempunyai layanan pengaduan konsumen sedangkan pinjol ilegal tidak.fintech lending legal juga tidak akan melakukan penawaran melalui pesan singkat/SMS, atau pesan WA, atau saluran komunikasi pribadi tanpa izin.
Selain itu, pihak pinjol illegal tidak mempunyai sertifikasi penagihan yang dikeluarkan oleh AFPI, sedangkan fintech lending legal mempunyai sertifikasi yang dikeluarkan oleh AFPI atau ditunjuk AFPI.
Masyarakat juga harus memastikan legalitas perusahaan fintech itu dulu sebelum menggunakan layanannya. Masyarakat dapat melihat daftar fintech lending yang terdaftar dan berizin OJK di laman resmi OJK atau menghubungi Kontak OJK.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Bagas Dwi Mulyantoro, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal