GAGASAN
Mengapa Korupsi Membudaya?
Oleh: Dr. Achmad Irwan Hamzani , Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Berita korupsi sering muncul menghiasi berbagai media massa. Masifnya korupsi di Indonesia mengindikasikan telah menjadi bagian buruk dalam perilaku pengelolaan penyelenggaraan negara. Bahkan sering dianggap sudah membudaya. Ibarah peranyakit, korupsi telah menjadi penyakit kangker yang semakin ditindak semakin meluas.
Korupsi menjadi ancaman serius yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.Selama ini korupsi juga kurang memperoleh tempat dalam kajian keilmuan khususnya sosiologi. Korupsi masih dipandang sebagai masalah mikro yang dampaknya dianggap kurang signifikan bagi tumbuhnya suatu bangsa. Korupsi seolah hanya berkaitan dengan problem ekonomi yang kemudian masuk dalam wilayah hukum.
Padahal perilaku korup merupakan perwujudan cacat moral yang dialami oleh pelakunya.Apabila korupsi begitu masif di segala bidang, maka kecacatan moral tersebut juga menunjukkan kecacatan moral bangsa. Sistem berpikir bangsa ini juga sudah menempatkan korupsi sebagai kondisi yang sudah dimaklumi karena begitu dominannya perbuatan korupsi melingkupi kehidupan ini sehari-hari. Sebagian besar rakyat Indonesia agaknya tidak terganggu lagi oleh masalah korupsi, karena kegiatan kesehariannya berada di tengah lingkungan yang serba korup.
Para pakar, aktivis NGO, tokoh masyarakat maupun masyarakat umum juga sering menyoroti penegakan hukum terhadap praktik korupsi yang dinilai “kurang efektif”. Namun di sisi lain justru masyarakat sendiri yang membudayakan praktik korupsi itu, seperti memberi suap, komisi maupun pungutan paksa.Korupsi bukan hanya persoalan hukum saja, melainkan termasuk persoalan mentalitas kebudayaan. Orang yang sangat mengerti dan paham tentang hukum saja, bahkan penegak hukum, dapat terjerat kasus korupsi. Korupsi tidak bisa hanya didekati dari aspek hukum saja, melainkan juga aspek budaya yang melingkupinya.
Fakta bahwa korupsi merupakan kasus hukum tidak dapat dibantah. Namun melihat korupsi hanya dalam perspektif hukum terlalu menyederhanakan persoalan. Dengan demikian, diperlukan strategi pencegahan korupsi melalui budaya.Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan, campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya. Wajar pabila disebut setiap korupsi tidak bisa dipisahkan dari interaksi dengan kekuasaan. Orang yang terjun di dunia politik masih dengan mentalitas animal laborans yang orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi masih sangat dominan, akhirnya menjadikan korupsi sebagai sindrom tempat mata pencarian.
Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam 3 (tiga) level; elitis, endemik, dan sistemik. Level elitis, korupsi menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para elit dan pejabat. Level endemik, korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas hingga yang paling bawah terutama dalam bentuk suap atau sekedar uang tips. Level kritis, korupsi menjadi sistemik karena setiap individu di dalam sistem masyarakat terjangkiti penyakit korupsi. Penyakit korupsi di Indonesia sudah pada tahap paling kritis, karena hampir setiap bidang organisasi pemerintahan dan juga swasta tidak bisa steril dari perilaku korupsi (Ermansjah Djaya, 2021).
Perlu inovasi dalam pencegahan tindak pidana korupsi agar lebih baik dengan cara mendidik para generasi penerus. Perlu ditanamkan nilai-nilai kejujuran yang tinggi serta meningkatkan moral dengan cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Moral harus dilatih agar terarah kepada hal yang lebih positif dan jujur. Perlu dibuat kantin-kantin kejujuran di sekolah dan kampus.
Demikian juga perlu diberikan pemahaman agar tidak memberikan sogokan maupun suap kepada para penegak hukum di jalan, dan juga kepada aparatur pemerintahan mulai dari tingkat yang paling bawah.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dr. AI Hamzani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal