NEWS
Menimbang Kartu Sakti BPJS Kesehatan
Oleh: Muhammad Wildan, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Belakangan ini masyarakat di ramaikan dengan adanya kebijakan pemerintah berkaitan dengan BPJS Kesehatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPJS Kesehatan per 31 Januari 2022, jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan mencapai 236 juta jiwa atau sekitar 86,27% penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, 139 juta di antaranya Penerima Bantuan Iuran (PBI). Lalu ada 32 juta peserta nonaktif (menunggak/tidak bayar iuran). Meskipun dapat dilihat tren kenaikan kepesertaan BPJS Kesehatan tiap tahun, namun Pemerintah menganggap bahwa pencapaian tersebut masih stagnan jika dilihat dari awal diberlakukannya BPJS Kesehatan 8 tahun lalu. Selain itu, semakin banyak peserta yang nonaktif karena menunggak pembayaran iuran menjadikan pendapatan BPJS berkurang. Pandemic covid 19 mungkin saja sangat berpengaruh terhadap pengeluaran yang dikuluarkan BPSJ kesehatan karena banyak nya klaim pelayanan kesehatan oleh masyarakat.
Melihat fakta tersebut pemerintah berupaya untuk mengoptimalkan masyarakat dalam kepesertaan BPJS Kesehatan untuk menaikan prosentase keikutsertaan masyarakat dalam BPSJ Kesehatan menjadi 98% di tahun 2024 mendatang. Hal tersebut dilakukan pemerintah juga dalam rangka untuk mengejar target cakupan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) di tahun 2024.Menindaklanjuti hal tersebut pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diteken pada 6 Januari 2022. Dalam Inpres tersebut mengatur tentang syarat wajib BPJS Kesehatan bagi masyarakat untuk dapat mengakses sejumlah layanan publik. Kepesertaan BPJS Kesehatan diwajibkan untuk calon jemaah haji dan umrah, permohonan SIM, STNK, dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Selain itu juga untuk mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), bahkan untuk jual beli tanah hingga pemohonan perizinan berusaha.Belakangan muncul berbagai respon dari masyarakat berkaitan Inpres tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak nyambung, “apa kaitan BPJS dan Jual Beli Tanah?” , bahkan mayarakat menilai bahwa kebijakan tersebut justru menambah beban kepada masyarakat di tengah perekonomian masyarakat sedang menurun akibat pancemi covid 19.Disamping itu bagaimana kemudian konsekuensi pemerintah terhadapan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Disisi lain sejumlah persoalan BPJS Kesehatan yang masih sering ditemukan dilapangan seperti repotnya birokrasi untuk bisa menerima manfaat layanan kesehatan, di antaranya mengenai lama dan berbelitnya sistem bagi pasien yang hendak mendapat surat rujukan ke rumah sakit.
Beragam pengaduan mengenai pelayanan kepada peserta BPJS Kesehatan yang dilakukan pihak rumah sakit. Misalnya Pasien yang menggunakan pembiayaan umum didahulukan dari pasien yang menggunakan pembiayaan dari BPJS kesehatan. Tidak sedikit pasien yang mengeluhkan sulitnya mencari ruang perawatan di rumah sakit. persoalan status nonaktif karena tunggakan biaya kepesertaan yang menumpuk juga menjadi perhatian bagi pemerintah bagaimana solusi terbaik, karena bagaimanapun pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah apabila merujuk pada Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pemerintah menyatakan bahwa Inpres tersebut dilaksanakan secara bertahap mulai 1 Maret 2022. Instansi yang sudah mulai menerapkan misalnya Kementrian ATR/BPN dimana pengurusan jual beli tanah sekarang harus menyertakan kartu BPJS, itu pun hanya diwajibkan bagi pembeli karena pembeli dianggap punya uang dan mampu untuk membayar iuran BPJS Kesehatan. Namun masyarakat masih merasa bahwa Inpres tersebut tidak tepat di tengah belum stabilnya ekonomi di masyarakat.
Kartu BPJS Kesehatan kini telah menjadi “kartu sakti” untuk memperlancar segala urusan berkaitan dengan pelayanan publik. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan sosialisasi aturan BPJS kepada masyarakat dengan pemahaman dan edukasi yang baik terhadap pentingnya jaminan kesehatan, bukan dengan regulasi yang terkesan memaksa sehingga masyarakat bisa menerima regulasi ini dengan lebih baik dan bijak.
*Dikutip dari berbagai sumber
Oleh: Muhammad Wildan, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal