GAGASAN
KETIKA RENDANG TIDAK BOLEH DARI BABI
Oleh: Hartoyo , Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Adias, Pemalang
Beberapa bulan yang lalu, tetapnya bulan Juni, masyarakat Indonesia khususnya di jagad maya dihebohkan dengan berita tentang makanan rendang babi. Sebenarnya kasus lama, bahkan Restoran yang menjualnya pun sudah tutup karena terdampak Pandemi Covid-19. Silang pendapat pun bermunculan merespon berita tersebut.
Mengapa kasus tersebut menjadi kontroversi? Bagaimana awal mulanya? Bagaimana hukum Islam memandang tentang peristiwa ini?
Hukum Islam penulis jadikan perspektif karena beberapa alasan. Pertama, sebagai hukum yang menentukan status makanan haram ataukah halal. Kedua, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Ketiga, sebagai umat Islam yang menjadi mayoritas, tentunya memerlukan kepastian hukum suatu makanan apakah halal atau haram.
Hebohnya rendang babi ini berawal dari unggahan penjualan salah satu kedai online di Jakarta yang menjual rending babi. Babiambo merupakan nama kedai rendang daging babi tersebut. Kedai ini telah buka sejak 2 tahun yang lalu dan hanya bertahan beberapa bulan alias sudah tutup.
Dari persoalan ini menurut penulis ada tiga aspek yang perlu di kaji secara berbrda. Penulis mencoba merangkum saja beberapa kajian yang sudah dilakukan oleh para pemerhati. Ketiga aspek ini atara lain aspek kuliner, budaya dan agama. Dari ketiga aspek ini tentunya punya sudut pandang yang berbeda sesuai dengan konteknya masing-masing. Berikut ini ulasan tigas aspek tersebut.
Pertama, aspek kuliner. Dari aspek ini, sudut pandangnya dari sisi kuliner an sich. Berbicara tentang masakan rendang maka sejatinya bicara tentang masakan yang berupa daging yang dimasak dengan olahan bumbu rendang. Rendang adalah masakan khas dari Daerah Minang atau Padang yaitu olahan daging sapi dengan bumbu dan rempah tertentu yang menjadi makanan khas Sehingga ketika mau memasak masakan rendang dengan menggunakan bahan dasar daging yang lain itu sah-sah saja. Hal ini karena selera tentang bahan dasar daging setiap orang berbeda-beda.
Yang menjadikan persoalan dalam aspek kuliner adalah ketika masakan ini dikaitkan dengan budaya khas orang Minang yang kental dengan budaya Islamnya. Bahkan telah menjadi semboyan. Rendang identik makanan khas wilayah tersebut dan berbahan dasar daging sapi ini akhirnya menyinggung masyarakat minang. Sehingga jika dilihat dari aspek kuliner tidak ada soal sebenarnya mau menggunakan bahan dasar daging apapun. Hanya saja menjadi persoalan ketika identikan atau menjadi khas daerah tertentu.
Kedua, aspek kedua. Dilihat dari sisi ini memang ketika ada masakan khas Minang sebagai budaya yang menggunakan bahan dasar daging sapi kemudian di bumingkan dengan alasan marketing menggunakan bahan dasar babi tentunya akan sangat menggagu masyarakat Minang. Warga Minang teguh dengan prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Ramainya pemberitaan tentang rendang babi, pastinya sangat mengusik masyarakat minang pada umumnya khususnya dari segi budaya.
Ketiga, aspek agama khususnya agama Islam. Menurut hukum Islam, jelas daging babi hukumnya haram. Islam memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap makanan halal, syubhat, dan haram. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam salah satu ayat al-Qur’an yang artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Baqarah [2]: 173). Sebagai agama yang dianut oleh mayoritas pendudukan Indonesia, memromosikan hal-hal yang diharamkan oleh hukum Islam pastinya suatu yang sangat sensitif. Hal ini tentu berlaku dimanapun dan dalam agama apapun. Oleh karena itu, prinsip saling menghormati, hal-hal yang sensitif tentunya harus dihindari.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa meskipun tidak ada larangan memasak masakan rendang dengan media bahan dasar daging babi, tetapi menghormati budaya dan agama orang lain, apalagi agama mayoritas, adalah suatu keharusan bahkan kewajiban. Jangan karena hanya kepentingan perdagangan ataupun pemasaran malah menyinggung budaya ataupun agama lain. Masakan rendang yang identik dengan masakan khas Minang Padang dengan bahan dasar daging sapi yang kemudian diperdagangkan dengan nama rendang babi tentunya berpotensi menyinggung budaya dari asal makanan itu., di mana masakan rendang ini adalah masakan khas Minang Padang yang mayoritas bergama Islam.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Hartoyo, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Adias, Pemalang