MENGKRITISI PEMIMPIN ADALAH KEWAJIBAN Oleh: Dr. Mohamad Khamim, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN
MENGKRITISI PEMIMPIN ADALAH KEWAJIBAN
Oleh: Dr. Mohamad Khamim, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Islam mengjarkan pada umatnya untuk senantiasa mengkritisi pemimpinnya. Bahkan mengingatkan pemimpin yang dzalim termasuk salah satu jihad yang paling afdol. Pemimpin Islam di masa awal seperti Khalifah Abu Bakar Assidiq maupun Umar bin Khattab yang agung memberikan keteladanan yang layak untuk dipuji sekaligus layak untuk ditiru dalam menyikapi kritis rakyatnya.
Umar bin Khattab yang dikenal sangat tegas, ketika menjadi khalifah acapkali dikritisi rakyatnya. Umar justru mengucapkan terima kasih terhadap rakyatnya yang begitu kritis bahkan untuk ukuran era sekarang ini ucapan rakyatnya itu tergolong sangat di luar batas kewajaran. Sekali lagi Umar tetap menunjukkan jiwa besarnya. Misalnya saja, saat Umar ingin mengumumkan kebijakan yang sangat penting. Tiba-tiba salah seorang mempertanyakan pada Umar. “Wahai Umar, kami tidak mau mendengar apa pun dari Anda, sebelum Anda menjelaskan darimana baju yang Anda pakai. Sebab, sesuai jatah semua orang dapat bagian yang sama. Sedangkan ukuran badan Anda beda dengan orang kebanyakan”.
Saat itu Umar tidak serta merta marah dituduh korupsi jatah bahan pakaian. Umar langsung meminta pada putranya Abdullah bin Umar untuk menjelaskan. Saat itu Abdullah mengatakan bahwa baju yang dipakai ayahnya adalah jatah dirinya yang diberikan pada ayahnya (Umar bin Khattab). Bukan hanya itu saja, Umar bin Khattab pun ketika meminta agar ada rakyatnya yang senantiasa mengingatkan apabila dia keliru dalam mengambil keputusan, pernah dijawab oleh rakyatnya dengan pertanyaan, “Kalau engkau keliru, kami akan mengingatkan Anda dengan pedang.”
Dari sikap itu layak untuk diambil pelajaran, bahwa seorang pemimpin harus senantiasa terbuka untuk menerima kritik dari mana pun. Pemimpin tidak boleh serta merta kebakaran jenggot ketika menerima kritik dari rakyatnya. Bahkan seorang pemimpin harus rela hati dan menebarkan senyum ketika rakyatnya berani untuk mengkritisi. Sebab, dibalik sikap kritis itu terdapat rasa sayang.
Tanpa ada orang yang berani menunjukkan kesalahan seorang pemimpin, maka berarti sang pemimpin harus siap untuk digiring ke jurang kehancuran. Seorang pemimpin harus menyadari bahwa dirinya bukanlah seorang Rasul yang mempunyai sifat ma’shum. Seorang pemimpin adalah manusia biasa yang setiap saat bisa saja salah dalam mengambil langkah-langkah kebijakan, atau bahkan bisa saja keselip lidahnya.
Seorang pemimpin jangan menganggap bahwa orang yang mengingatkannya adalah musuh yang harus dihabisi. Bahkan sebaliknya, orang yang mengkritik harus senantiasa ditempatkan pada posisi terhormat, agar senantiasa menjalankan fungsinya sebagai pengkritik. Perintah Alquran yang menyebutkan, “Taatlah kamu pada Allah dan taatlah pada Rasul, dan pemimpin di antara kamu,” bukanlah ketaatan tanpa reserve. Seorang pemimpin yang wajib ditaati, haruslah tetap pada koridor, bahwa pemimpin yang bersangkutan taat pada Allah dan Rasul.
Pemimpin yang baik senantiasa menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Tapi apabila pemimpin itu sudah melanggar garis-garis besar ajaran Allah, atau terdapat indikasi bahwa pemimpin itu sudah ingkar pada amanah yang diberikan padanya, maka wajib umat Islam untuk mengingatkannya. Dan apabila dalam perjuangan untuk mengingatkan pemimpin itu harus menemui resiko, atau sampai menemui ajal, maka orang tersebut dapat dikategorikan mati syahid.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dr. Mohamad Khamim, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *