Remisi bagi Para Koruptor dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia
Oleh: Dr. Moh. Taufik, Dosen Fakultas Hukukm Universitas Pancasakti Tegal
Awal September 2022, beberapa narapidana di Lapas Sukamiskin, selesai menjalani masa hukuman dengan diberikannya pengurangan hukuman. Yang menjadi menarik adalah beberapa nama narapidana itu adalah mantan Gubernur Banten Ibu Ratu Atut Chomsiyah, Mantan Menteri Pak Jero Wacik, dan Jaksa Pinangki. Mereka semua adalah narapidana kasus Korupsi yang pemberitaan nya cukup hangat pada awal awal penangkapan oleh KPK. Pidana yang ditimpakan oleh Hakim rata rata di atas 10 tahun. Namun baru beberapa tahun menjalani masa hukuman, tahu-tahu sudah bebas bersyarat.
Gambaran ini menunjukan bahwa penegakan hukum terhadap para koruptor belum berjalan dengan maksimal. Ini memberikan gambaran bahwa adigum hukum yang berlaku di masyarakat umum masih terjadi yaitu siapa yang memiliki kuasa dan materi yang banyak, akan dimudahkan dan diringankan dalam penindakan hukum.
Penegakkan hukum di Indonesia terkesan masih berat sebelah, hukum di Indonesia ini masih tumpul ke atas tetapi tajam kebawah. Maksudnya penegakkan hukum di Indonesia tidak sama antara rakyat kecil dan para pejabat Negara. Para koruptor di negeri ini hanya diberi hukuman 3 tahun penjara, sedangkan seorang yang mencuri sandal saja dapat dihukum berat. Hal ini jelas melanggar UUD 1945 pasal 28 D ayat satu yang berbunyi: ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’. Dari ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa setiap orang berhak diperlakukan samadihadapan hukum. Tidak peduli status sosialnya, baik dia pemulung sampai presidan sekalipun harus diperlakukan sama dihadapan hukum.
Istilah ini mungkin sudah lumrah bahkan sudah menjadi rahasia umum Negara kita tercinta saat ini. Bahwa, hukum di Indonesia timpang sebelah atau dalam kutip “ tumpul ke atas runcing ke bawah “. Maksud dari istilah ini adalah salah satu kenyataan bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas bawah daripada pejabat tinggi. Coba bandingkan dengan para tikus berdasi yang notebenenya adalah para pejabat yang ekonominya kelas atas yang terjerat dengan kasus korupsi dan suap.
Dalam kehidupan sehari hari sering kita jumpai masalah kecil tapi dianggap besar dan terus dipermasalahkan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan sikap kekeluargaan. Namun, berlangsung dengan persidangan yang dipersulit bahkan menjadi sangat tidak logis. Sementara, diluar masih banyak tikus berdasi yang berkeliaran dengan senang dan santainya menikmati uang rakyat yang acap kali disalah gunakan untuk hal yang bersifat pribadi, bukannya menyejahterakan rakyat namun sebaliknya membuat rakyat menjerit seolah mencari dimana keadilan negeri ku?
Krisis Sosial Penegakan Hukum
Kasus korupsi mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta Rupiah. Ratu telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugutan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Bandingkan dengan kasus seorang seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Rasanya sangat tidak adil melihat kasus ini seorang koruptor yang merugikan Negara sebesar 1 Miliar rupiah hanya dihukum 4 tahun penjara sedangkan seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dihukum 2,5 tahun sunguh miris bukan?.
Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita.Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan dengan baik.Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia seperti pada UUD 1945 pasal 28 D ayat satu yang berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” Kalau ini diterapkan, proses penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik dan akan adil tanpa berpihak pada kaum yang kuat dan lemah, tikus berdasi atau kepompong yang menjerit? tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas “atas” atau yang kaya terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini.Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah.
Legitimasi Moral Yang Lemah
Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan.Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit.
Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum seolah seperti tanpa nurani dan akal sehat namun memiliki jiwa yang besar dalam mempertahankan harkat keadilan dalam penegakan hukum negeri ini.
Solusi
Lalu bagaimana cara agar HAM untuk diperlakukan sama didepan hukum ini dapat dipenuhi? Solusinya adalah memaksimalkan kembali fungsi aparat penegak hukum dan memperberat hukuman bagi koruptor dan penerima suap serta mencopot semua aparat Negara yang terbukti melakukan korupsi dan menerima suap. Dan juga setiap warga negara wajib menaati UUD 1945 pasal 28 D ayat 1. Penegakan hukum yang maksimal harus maksimal dalam beberapa elemen. Elemen pertama, Substansi hukum perlu di buat dengan mendasari pada nilai nilai hukum yang berkeadilan , yang merupakan penyerapan terhadap nilai nilai yang berasal dari masyarakat hukum termasuk kaum cendekiawan.
Baca Juga Sukses Beternak Kelinci, Arif Adakan Pelatihan Bagi Milenial
Pelibatan pembahasan substansi hukum harus bersifat partisipatoris sehingga rumusan Undang Undang atau rancangan Undang Undang tidak menimbulkan pro kontra di masyarkat. Elemen kedua, struktur hukum dalam hal ini apparat hukum harus menjalankan bahwa komando tertinggi adalah hukum bukan kepala kantor dari apparat tersebut. Kasus Sambo menjadi contoh bagaimana ketergantungan para apparat terhadap atasannya.Elemen ketiga, kultur masyarakat terhadap penegakan anti korupsi dimulai dengan membiasakan kebiasan yang bisa membangun budaya bersih dan jujur.kemudian budayakan hidup sederhana, karena kesederhanaan akan menanamkan hidup yang menerima dan apa adanya, tanpa hidup dengan topeng. Jika hal tersebut dapat dilaksanakan maka tidak akan ada lagi kasus hukum yang berat sebelah, dan HAM tentang perlakuan yang sama didepan hukum dapat terpenuhi.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dr. Moh. Taufik, Dosen Fakultas Hukukm Universitas Pancasakti Tegal