KDRT Bukan Kejahatan Biasa Oleh : Dr. Hamidah Abdurrachman Akademisi, MAntan Kompolnas, Pakar Hukum Pidana & Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Oleh : Dr. Hamidah Abdurrachman
Akademisi, MAntan Kompolnas, Pakar Hukum Pidana & Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Kompas.com – 30/09/2022, 16:11 WIB
Bagikan: Komentar Ilustrasi Lihat Foto Ilustrasi(Kompas.com)
Editor Sandro Gatra
SEORANG suami berinisial D tega membakar istri dan anak tirinya di Kelurahan Kadomas, Kecamatan Pandeglang.
Kejadian yang sama juga terjadi di Depok, suami merasa kesal hingga menyiram tiner kepada istri dan terkena anaknya. Pelaku langsung membakar korban menggunakan korek api.
Berdasarkan pengakuan LN, dirinya menyiramkan tiner dan membakar EL karena kesal. Sebab, menurut dia, istrinya itu lebih sering bermain game online ketimbang mengurus anak.
Kasus lainnya adalah MT (30), warga Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur membakar istri siri dan anak tirinya. Pelaku kesal karena sang istri mengambil ponselnya setelah keluar dari kamar mandi. MT ternyata habis menonton film porno.
Kawasan Jalan Dr Soetomo Kelurahan Karang Rejo, Balikpapan Tengah mendadak geger setelah mendengar adanya ledakan dan kepulan asap yang keluar dari salah satu rumah warga di RT 15.
Rupanya pasangan suami istri terlibat cekcok, diduga karena cemburu. Sang suami menganiya istri dan membakarnya.
Seorang pria di Batam, Kepulauan Riau (Kepri) bernama Z dilaporkan istri sirinya karena melakukan penganiayaan.
Penganiayaan Zulfikri kepada istrinya itu terjadi lantaran hal sepele, yakni keduanya berebut menggunakan toilet di sebuah hotel tempat mereka menginap.
Di Sulawesi Utara (Sulut), SN ditemukan tewas di kamar mandi rumahnya di Minahasa Utara. Ddia tewas setelah dianiaya FT, suaminya.
S di Pemalang, Jawa Tengah, mengaku emosi dengan kebiasaan istrinya yang gemar melakukan live streaming melalui aplikasi di ponsel.
Karena kesal, sang suami menganiaya istri dengan melukai leher korban dan tewas bersimbah darah di tempat tidur.
Kasus yang cukup heboh diberitakan adalah Lesti Kejora melaporkan suaminya, Rizky Billar, atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Dalam laporannya itu, Lesti Kejora mengungkapkan, awal mula Rizky Billar melakukan KDRT karena ketahuan selingkuh. Komnas Perempuan menerima pengaduan 338.496 kasus sepanjang tahun 2021.
Sebanyak 2.363 di antaranya merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap istri sebanyak 771 kasus. Kekerasan terhadap perempuan dikenal juga dalam istilah “violence against woman, gender based violence, gender violence, female-focused violence, domestic violence” dan sebagainya.
Selama ini banyak pandangan tentang KDRT, yang paling umum adalah KDRT sebagai masalah keluarga yang harus diselesaikan secara internal keluarga.
Harus diakui, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan terobosan progresif karena undang –undang ini mengubah mindset masyarakat tentang KDRT sebagai masalah privat menjadi urusan negara sebagai hukum publik.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan dengan ancaman sanksi pidana yang cukup tinggi.
KDRT dan patriarki KDRT memiliki keunikan dan kekhasan karena kejahatan ini terjadi dalam lingkup rumah tangga dan berlangsung dalam hubungan personal yang intim, yaitu antara suami dan isteri, orangtua dan anak, antara anak dengan anak, atau dengan orang yang bekerja di lingkup rumah tangga yang tinggal menetap.
Relasi antara pelaku dan korban yang intim dalam lingkup perkawinan ini menyebabkan dalam banyak kasus KDRT masih dipandang sebagai masalah keluarga (hukum privat) sehingga penyelesaiannya diarahkan kepada internal keluarga.
Kadang sulit untuk menerka motif pelaku, istri yang dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai garwo: sigaraning nyowo, justru menjadi sasaran kemarahan yang dilatar belakangi berbagai alasan yang terkesan sepele.
Misalnya, kasus penganiyaan isteri di Batam hanya karena rebutan masuk ke kamar mandi. Relasi intim yang terjalin secara fisik dan psikis seharusnya menjadi tali pengikat secara emosional yang kuat, sehingga meningkatkan rasa kasih sayang, menghargai, dan melindungi.
Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya juga disebut kekerasan domestik. Kekerasan terhadap perempuan adalah sesuatu yang bersifat universal karena tidak mengenal batas ras, etnik, golongan, agama, budaya, status sosial, usia, dan jenis kelamin.
Kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan terjadi pada siapapun, kapanpun dan di manapun, juga oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain.
Meskipun demikian, secara average, kekerasan banyak dilakukan oleh laki-laki khususnya dalam ranah domestik (rumah tangga) kebanyakan korbannya adalah perempuan (istri), anak-anak dan pembantu.
Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk nyata dari bukti ketidakadilan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun psikis, baik secara struktural maupun kultural dan terjadi di ruang domestik maupun publik.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut telah mengakar dalam masyarakat secara turun temurun sebagai konstruksi dari ideologi patriarkhi. Tanpa disadari lama kelamaan menjadi ideologi pembenaran kekerasan terhadap perempuan.
Dalam berbagai bacaan, patriaki dituding sebagai faktor penyebab utama terjadinya KDRT. Pada mulanya patriarki memiliki pengertian yang sempit, menunjuk kepada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi di mana kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang menjadi tanggungannya termasuk budak laki-laki dan perempuan.
Meskipun pengertian patriarki yang sempit ini sudah berakhir di sebagian besar Eropa Barat dalam abad ke 19 dengan dijamin hak-hak kewargaanegaraan perempuan khususnya perempuan yang menikah, justru istilah patriarki merambah ke seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga dan berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.
Patriarki adalah konsep laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama dan pada dasarnya perempuan tercabut dari akses terhadap kekuasaan tersebut.
Harkristuti Harkrisnowo menyebut patriarkhal sebagai suatu struktur komunitas di mana kaum laki-laki yang memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang mendegradasi perempuan baik melalui kebikan pemerintah maupun dalam perilaku masyarakat.
Max Weber bahkan pernah menggunakan konsep patriarki untuk mengacu pada bentukan sistem sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkup keluarga inti, keluarga luas dan lingkup keluarga seperti ekonomi.
Kamla Bhasin menambahkan patriarki secara umum diidentikkan dengan kekuasaan laki-laki sebagai instrumen untuk mendominasi perempuan melalui berbagai cara.
Pada umumnya alasan biologis dan mistis digunakan untuk membenarkan superioritas dan kontrol laki-laki terhadap perempuan.
Atas dasar itu, sebagai sisi baliknya harus ada upaya dekonstruksi terhadap peran gender laki-laki dan perempuan. Dampak terjadinya KDRT berdasarkan hasil penelitian tim Kalyanamitra, merupakan pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak.
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang.
Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Disadari atau tidak, anak-anak adalah silent witness dan menyimpan trauma atas kekerasan yang terjadi sepanjang hidupnya. Bias persepsi penegak hukum Dalam banyak kasus yang terjadi, KDRT selain dianggap sebagai persoalan privat keluarga juga dikatakan sebagai delik aduan.
Kalau membaca UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 51, 52 dan 53 menyebutkan delik aduan hanyalah KDRT sebagai dimaksud dalam Pasal 44 Ayat 4 (kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari).
Kemudian Pasal 45 (kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari) dan pasal 46, yaitu kekerasan seksual.
Dalam praktiknya, kasus KDRT selalu diarahkan untuk berdamai yang diakhiri dengan pencabutan laporan. Bahkan dalam beberapa kasus Polisi masih menggunakan ketentuan Pasal 351 KUHP meskipun sebagai UU-PKDRT berlaku sebagai lex specialis.
Selain itu seringkali aparat penegak hukum hanya melihat satu bentuk KDRT, namun sesungguhnya KDRT terjadi dengan berbagai bentuk secara bersamaan, kekerasan fisik yang terjadi disebabkan sebelumnya sudah terjadi kekerasan psikis dan kekerasan ekonomi bahkan kekerasan seksual.
Hal ini jarang diungkapkan oleh aparat penegak hukum, bahkan seringkali muncul opini KDRT terjadi karena kesalahan perempuan (crime by victim) sehingga terjadi viktimisasi terhadap korban, melalui kekerasan verbal oleh Polisi.
Misalnya “ibu sih bawel atau kalau sesekali suami main dengan perempuan lain itu kan wajar, mungkin ibu yang tidak bisa melayani suami”.
Kedepan diperlukan beberapa upaya untuk membangun kepekaan terhadap perlindungan perempuan korban KDRT melalui pergeseran mindset tentang keluarga yang selama ini dipandang sebagai institusi yang tak tersentuh oleh hukum, menjadi ruang publik yang mengedepankan perlindungan terhadap korban.
Harus ada transformasi pemahaman aparat penegak hukum khususnya kepolisian sebagai gerbang pertama yang menangani korban, agar penegakan UU-PKDRT menjadi lebih optimal dengan mekanisme yang lebih adil menuju perlindungan korban, bukan hanya sekadar menghukum pelaku.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “KDRT Bukan Kejahatan Biasa”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/…/kdrt-bukan-kejahatan-biasa.
Editor : Sandro Gatra
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *