PIDANA MATI DALAM KUHP BARU Oleh: Eleonore Febriati Trinita, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN
PIDANA MATI DALAM KUHP BARU
Oleh: Eleonore Febriati Trinita, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Ada beberapa persoalan yang masih jadi pro dan kontra dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Salah satunya pidana mati. KUHP baru sebenarnya memuat keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan individu.
Kemudian keseimbangan perlindungan/kepentingan pelaku dan korban, keseimbangan antara unsur/faktor objektif (tindakan eksternal) dan subjektif (sikap orang/internal/internal), keseimbangan antara kriteria formil dan materil. Juga keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan serta keseimbangan antara nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai global/internasional/universal.
Jenis pidana berat juga mempertimbangkan perlindungan/kepentingan individu. Hal ini dapat dilihat dengan diadakannya ketentuan pelaksanaan pidana mati. KUHP baru merumuskan bahwa pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Hal ini disebutkan dalam Pasal 89 ayat (1) , jika:
Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar.
Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki.
Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting.
Ada alasan yang meringankan.
Ayat (2): “Apabila terpidana menunjukkan keteladanan sikap dan tingkah laku selama dalam masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pidana mati dapat dijatuhkan dengan keputusan Menteri. Kemudian alinea 3 “Apabila terpidana tidak menunjukkan keteladanan sikap dan perilaku selama masa percobaan tersebut pada alinea 1 dan tidak ada prospek perbaikan, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah surat wasiat Jaksa Agung.
Dari bunyi Pasal 89 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa pidana mati dapat ditunda dengan memberikan masa percobaan selama 10 tahun apabila terpidana memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam huruf a–d. Jika penafsiran syarat a – d yang tidak memihak berarti melihat keempat poin tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, maka menjadi sangat sulit bagi terpidana untuk menerima masa percobaan 10 tahun karena semua unsur syarat a – d harus dipenuhi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Situasinya berbeda jika salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka tidak dilaksanakan masa percobaan.
Pasal 89 ayat (2) mengatur bahwa jika terpidana telah memberikan dan menjalani masa percobaan selama 10 tahun, maka oleh Negara jika terpidana menunjukkan perubahan sikap dan tingkah laku yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau hingga 20 tahun. Namun Pasal 3 menegaskan bahwa jika tidak ada perubahan sikap dan perilaku yang terpuji selama masa persidangan, bahkan jika terpidana dianggap tidak memiliki prospek untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilakukan oleh negara. Kemudian Pasal 90 menyebutkak: “Apabila permohonan grasi pidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun tanpa terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden”.
Selain pertimbangan pokok di atas, penegakan pidana mati juga didasarkan pada pemikiran untuk menghindari tuntutan/reaksi sosial yang bersifat dendam/emosional/sewenang-wenang/tidak terkendali atau di luar hukum. Artinya, pidana mati hanya dimaksudkan untuk menyalurkan perasaan/tuntutan masyarakat. Ketiadaan pidana mati dalam undang-undang tidak menjamin bahwa masyarakat tidak memiliki pidana mati.
Menurut penulis, untuk menghindari perasaan ataupun potensi balas dendam pribadi/bersama, sebaiknya pidana mati tetap harus ada. Memang, feformasi hukum pidana dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan politik yang mengacu pada penentuan perbuatan mana yang tergolong tindak pidana dan pidana apa yang tepat untuk diterapkan atau dijatuhkan kepada pelakunya. Pidana mati sebagai bagian dari kebijakan yang mencerminkan gagasan/nilai keseimbangan unidualistik.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Eleonore Febriati Trinita, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *