GAGASAN
ADA APA DENGAN KUHP BARU?
Oleh: Bunga Firmaning Tyas, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan salah satu pedoman dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia. KUHP yang berlaku saat ini peninggalan zaman kolonial Belanda. Artinya, yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan perkara pidana masih menggunakan kitab hukum peninggalan penjajah.
Sebagai bangsa yang sudah merdeka, wajar apabila memandang bahwa KUHP peninggalan penjajah g sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat di Indonesia yang sudah merdeka. Apalagi seiring perkembangan zaman yang terus berubah. Banyak persoalan-persoalan baru muncul.
Membuat sebuah KUHP baru yang sesuai dengan kultur dan budaya bangsa Indonesia sebenarnya sebuah cita-cita yang sudah sangat lama dicetuskan. Bahkan penyusunan RKUHP terbilang sangat lama, sejak tahun 1963. RKUHP disahkan sebagai KUHP baru pada Selasa tanggal 6 Desember 2022.
Dengan demikian, KUHP baru yang sudah disahkan disusun sejak 59 tahun yang lalu. Sejak tahun 2015 sebenarnya pembahasan tentang pengesahan RUU KUHP baru sudah beredar, akan tetapi realitanya KUHP baru belum juga disahkan. Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 2019 RUU KUHP rencana mau disahkan, tetapi gelombang protes ada di mana karena momentumnya berbarengan revisi Undang-undang KPK.
Ada apa dengan KUHP baru? Mengapa begitu lama prosesnya? Mengapa sampai sekarang juga ada sebagian masyarakat yang masih mempersoalkan?
Secara umum, karena banyak perdebatan dari berbagai elemen masyarakat, civitas akademika, politisi, maupun praktisi hukum karena memandang ada beberapa pasal yang kontroversi karena bisa multitafsir. Ada anggapan pasal-pasal tertentu dapat melumpuhkan nilai-nilai demokrasi. Ada pula yang menganggap mengatur hal-hal yang bersifat privasi. Hingga mempersoalkan tentang pidana mati yang dianggap bertentangan dengan HAM.
Padahal berbicara tentang hukum pidana tentu tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana, pidana, dan pelaksanaan pidana. Indonesia yang mewarisi civil law menuangkan segala aturan-aturan hukum yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang dibukukan yang lazim disebut sebagai hukum positif. Peraturan perundang-undangan tersebut bersifat imperatif. Seluruh warga negara, tanpa pandang bulu, tunduk dan wajib menaatinya.
Apabila dirasa ada ketidaksesuaian, sudah ada mekanisme penyalurannya. Misalnya tidak puas, atau merasa bertentangan dengan UUD NRI 1945, masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji. Hal ini juga sebenarnya sudah lazim dilakukan, dan banyak peraturan perundang-undangan yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Bunga Firmaning Tyas, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal