MENAKAR “KEGENTINGAN YANG MEMAKSA” ATAU “ MEMAKSA KEGENTINGAN” PERPPU CIPTA KERJA Oleh: Imam Asmarudin , Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN
MENAKAR “KEGENTINGAN YANG MEMAKSA” ATAU “ MEMAKSA KEGENTINGAN” PERPPU CIPTA KERJA
Oleh: Imam Asmarudin , Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 di penghujung tahun 2022 seakan menambah deretan panjang polemik pengaturan Cipta Kerja yang tak kunjung selesai, setelah sebelumnya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) melalui putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020 Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, bahkan dalam salah satu amarnya menyatakan “Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen”.
Mendasarkan pada amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang memiliki sifat “final dan mengikat (Binding)”, ruang yang diberikan MK RI adalah perintah “perbaikan” bukan untuk “Penggantian” UU No. 11 tahun 2022, makna “perbaikan” ditafsirkan oleh pemerintah berbeda dengan tafsiran publik, “penggantian peraturan baru” menjadi narasi yang menjadi tafsiran makna kata “perbaikan” oleh pemerintah, hal itu secara tegas tertuang dalam konsideran Perppu pada huruf f. Terbitnya Perppu tentang Cipta Kerja terkesan telah mengesampingkan putusan MK RI Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang sudah final dan mengikat (Binding), bahkan dalam ketentuan pasal 185 Perppu No. 2 tahun 2022 secara tegas telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Terbitnya suatu Perppu (constitutional decree authority, executive decree authority, atau presidential decree authority), merupakan sistem yang berjalan dalam negara yang menganut sistem Presidensial seperti Indonesia, di Indonesia kewenangan Presiden dalam mengeluarkan Perppu tertuang dalam ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, hampir semua Presiden Indonesia pernah menggunakan kewenangan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945.
Dua pejabat Presiden yang pernah menggunakan kewenangan adalah pejabat Presiden Juanda yang menetapkan 24 Perpu dan pejabat Presiden Asaat Datuk Mudo di masa Konstitusi RIS menetapkan 6 Perpu. Selanjutnya berurutan Presiden Soekarno 143 Perppu, Presiden Soeharto 8 Perppu, Presiden Habiebie 3 Perppu, Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) 3 Perppu, Presiden Megawati 4 Perppu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 19 Perppu dan Presiden Joko Widodo 8 Perppu.
Melihat data semua presiden hampir pernah mengeluarkan Perppu, menunjukan bahwa indikator ”hal ikhwal kegentingan yang memaksa” menjadi sangat luas pemaknaannya, Dalam praktik ketatanegaraan Perppu tidak selalu dikaitkan dengan keadaan bahaya atau keadaan darurat sebagaimana disebutkan dalam UUD NRI 1945, sehingga memberi kesan bahwa kegentingan memaksa tidak harus darurat. Putusan MK RI Nomor 138/PUU-VII/2009 memberikan beberapa kriteria syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perpu, yaitu: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, (3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dengan adanya indikator tersebut maka semua Perppu yang diterbitkan Presiden setidaknya perlu memperhatikan 3 indikator tersebut, termasuk Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, sehingga publik menilai apakah Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja memenuhi hal ikhwal “kegentingan yang memaksa” atau “memaksa kegentingan”?, saat ini Perppu tersebut sedang di ajukan judicial Review di Mahkamah Konstitusi RI, sehingga Mahkamah Konstitusi RI kembali akan diuji konsistensinya dalam memaknai hal ikhwal “kegentingan yang memaksa” sebagaimana putusan MK RI Nomor 138/PUU-VII/2009.
Selain diuji konsistensi menyangkut hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa”, Mahkamah Konstitusi RI saat ini sedang diuji keprofesionalannya dalam menyidangkan pengujian Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, satu sisi MK RI pernah memutus uji formil Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan Inkonstitusional bersyarat meskipun dalam pertimbangan putusannya terdapat”Disenting Opinion”. Terjadinya pergantian Hakim Konstitusi dipertengahan masa jabatannya pasca putusan pengujian UU No. 11 tahun 2020 tentang cipta Kerja juga menjadi perhatian. MK RI dalam menguji Perppu harus tetap sebagai the guardian of the constitution yang wajib menjaga marwah Negara hukum.
Akhirnya, Perppu merupakan kewenangan Presiden secara subjektif melekat, yang diberikan oleh konstitusi, sehingga perlu ada kehati-hatian dalam menerbitkan Perppu, Perlu ada kejelasan hal ikhwal“kegentingan yang memaksa “ atau hanya “memaksa kegentingan”.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Imam Asmarudin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *