GAGASAN
Menyoal Nilai-nilai HAM dalam KUHP Baru
Oleh: Olivia Nur Fadilah , Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda terjemahan dari Wetbook Van Strafrecht (WvS) dirasa tidak relevan lagi dengan kondisi, keadaan, dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Terhitung dari berlakunya KUHP/WvS peninggalan Belanda di Indonesia tahun 1918, hingga saat ini sudah 104 tahun lamanya. Dirancanglah penyusunan pembaharuan hukum pidana yang sudah dilakukan sejak 1963, dan baru disahkan tahun 2022 menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dalam ketentuan umum dapat disebut KUHP.
Disahkannya KUHP baru pada Tanggal 6 Desember 2022, tentu merupakan suatu momen bersejarah dalam perjalanan hukum pidana di Indonesia. Masyarakat Indonesia patut berbangga karena telah memiliki KUHP produk sendiri, bukan buatan negara lain. Meskipun dalam penyusunan RUU KUHP disertai lika-liku, terjadi pro kontra, bahkan penolakan sehingga berulangkali batal untuk disahkan.
Ada suatu harapan besar, bahwa KUHP baru tentunya sangat reformatif, progresif, dan juga responsif dengan situasi di Indonesia. Meskipun harus diakui, pro kontra, bahkan kritik di sana sini masih terus terjadi. Ada pasal-pasal tertentu yang masih dikritisi oleh masayarakat.
Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinannya atas pengesahan sejumlah pasal dalam KUHP. Layangan surat juga terkirim untuk pemerintah Indonesia yang menyatakan keprihatinannya sebelum KUHP disahkan. PBB tidak menyebut secara detail pasal per pasal, tetapi mengaku khawatir dengan beberapa pasal dalam KUHP yang bertentangan dengan kewajiban hukum internasional sehubungan dengan prinsip dasar hak asasi manusia. Hal sebenarnya sangat disayangkan, karena PBB telah ikut intervensi hak Indonesia sebagai bangsa yang sudah merdeka untuk memiliki produk hukum sendiri.
Ada beberapa pasal yang dikritisi yang dianggap mengancam HAM seperti kebebasan pers, mendiskriminasi kepada minoritas, melanggar hak reproduksi, privasi, dan berisiko melanggar kebebasan berkeyakinan. Selain itu, juga pasal yang terkait larangan penghinaan terhadap pejabat, aborsi sampai seks di luar nikah. Bahkan pasal-pasal yang disebut terakhir dikhawatirkan akan meningkatkan kekerasan berbasis gender dan kekerasan berbasis orientasi seksual dan identitas gender.
Kemudian ada pasal tentang aturan kohabitasi yang menyebutkan ketentuan menganai hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Meskipun hal ini merupakan delik aduan yang mana pengaduan dapat dari keluarga dekat seperti suami, istri, atau orang tua. Selain aturan kohabitasi atau hidup bersama, tersorot pasal soal akses aborsi yang akan mempidanakan perempuan yang melakukannya dengan ancaman pidana 4 tahun penjara.
PBB menilai kerangka hukum tersebut tidak sejalan dengan standar internasional, yang mana akan membahayakan keamanan kesehatan perempuan dan memperburuk ketidaksetaraan. Pasal soal larangan mengakses alat pencegah kehamilan atau kontrasepsi juga dianggap dapat membatasi informasi soal kesehatan yang penting yang dinilai akan mendiskriminasi hak untuk mendapatkan informasi soal kesehatan reproduksi.
Namun demikian, pasal-pasal tersebut harus dilihat secara proporsional. Munculnya pasal-pasal yang dianggap kontroversial, tentu tidak tidak lepas dari kebutuhan dan cara pandang bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religious yang sangat menghormati adat istiadat. Negara tentu sangat berkempentingan melindungi warganya dari berbagai macam kemerosotas moral. Apalagi bangsa tentu punya standar moral sendiri.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Olivia Nur Fadilah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal