PUTUSAN HAKIM TERHADAP FERDY SAMBO Oleh: Dr. Hamidah Abdurrachman , Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN
PUTUSAN HAKIM TERHADAP FERDY SAMBO
Oleh: Dr. Hamidah Abdurrachman , Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Idealnya seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Secara umum disebut putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan secara hukum maupun keadilan sosial serta bermafaat untuk memberikan rasa aman dan terlindungi bagi masyarakat. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Asas kebebasan hakim ini termasuk juga kebebasan bagi hakim dalam merumuskan pertimbangan hukum dikenal dengan legal reasoning yang dilakukan oleh seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diadilinya. Tentu Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku.
Salah satu bentuk reformasi birokrasi yang terus digaungkan oleh Mahkamah Agung adalah dalam hal peningkatan kualitas putusan hakim serta profesionalisme seluruh lembaga peradilan yang ada dibawahnya. Salah satu wujud peningkatan kualitas putusan hakim serta profesionalisme lembaga peradilan yakni ketika hakim mampu menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit).
Pertimbangan Hakim
Legal reasoning hakim sangat terkait dengan tugas pokok seorang hakim, yaitu bertugas menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, kemudian hakim meneliti perkara dan akhirnya mengadili yang berarti memberi kepada yang berkepentingan hak atau hukumnya. Normanya adalah hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Paling tidak ada 2 (dua) hal dalam pertimbangan hakim yaitu pertimbangan secara obyektif yaitu tentang perbuatan dan unsur-unsurnya, juga siapa (saja) yang melakukan dan orang lainyang terlibat dalam perbuatan tersebut. Kedua faktor subyektif yaitu menyangkut faktor yang memberatlan dan meringankan. Dari faktor ini maka hakim dapat mengambil kesimpulan bahwa perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dan terdakwa bersalah, sehingga dapat dijatuhi pidana. Kesimpulan ini tidak terlepas dari fakta persidangan dan tahap pembuktian, dalam hal ini jaksa penuntut umum memeriksa dan menguji alat bukti lalu berdasarkan hasil uji alat bukti ini, menguatkan dakwaan dalam bentuk tuntutan.
UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan dalam Pasal 50, Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Setiap putusan hakim-hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara konkrit. Hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan hukum.
Hakim memutus semata-mata untuk keadilan, untuk mewujudkan keadilan, hakim dim
ungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengkesampingkan suatu ketentuan yang berlaku. Dalam hal hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Undang-undang telah menggariskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat, sehingga dapat memberi keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi hukum, hakim harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan umum (the general principle of natural justice).
Dalam tuntutannya Jaksa menilai Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan primer yakni Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Selain itu, dalam tuntutan itu jaksa juga menganggap Ferdy Sambo terbukti melanggar dakwaan kedua pertama primer yakni Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa juga memaparkan sejumlah hal yang memberatkan bagi Ferdy Sambo dalam tuntutan. Selain perbuatan Ferdy Sambo mengakibatkan hilangnya nyawa Yosua dan duka yang mendalam bagi keluarganya Ferdy Sambo juga berbelit dan tidak mengakui perbuatan dan perbuatan Ferdy telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat. Secara etis perbuatan Ferdy Sambo tidak sepantasnya dilakukan sebagai aparat penegak hukum dan pejabat elit Polri. Atas perbuatan ini Jaksa menuntut hukuman seumur hidup.
Terhadap terdakwa lainnya yaitu RR, KM, PC Jaksa menuntut 8 tahun penjara dengan alasan mereka terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Yosua yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Terhadap Eliezer Jaksa menuntut 12 tahun penjara.
Hukuman Mati untuk Sambo
Pasal 183 KUHAP menyatakan untuk menentukan kesalahan terdakwa, harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHAP menyebutkan 5 alat bukti dalam perkara pidana yaitu Saksi, Ahli, Petunjuk, Surat dan Keterangan Terdakwa.
Kalau mencermati pertimbangan hakim dalam fakta persidangan, bahwa Pasal 340 KUHP terkait unsur sengaja dan direncanakan dan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain sudah dapat dibuktikan oleh Jaksa, sehingga pidana yang akan dijatuhkan Hakim kepada FS dapat berupa Hukuman Mati dianggap layak dengan pertimbangan perbuatan Sambo telah mencoreng institusi Polri sehingga tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri menurun. Komandan yang menghabisi ajudannya dengan sadis (ditemukan tujuh buah luka tembak masuk pada kepala bagian belakang sisi kiri, kelopak bawah mata kanan, bibir bagian bawah sisi kiri, puncak bahu kanan, dada sisi kanan, pergelangan tangan kiri sisi belakang dan ruas jari manis tangan kiri sisi dalam; serta luka tembak keluar pada selaput kelopak bawah mata kanan, hidung. Kemudian, leher sisi kanan, lengan atas kanan sisi luar, pergelangan tangan kiri sisi depan dan ruas ujung jari manis tangan kiri sisi luar. Jaksa menambahkan ada luka tembak masuk pada kepala bagian belakang sisi kiri menembus tengkorak, dan menimbulkan patah tulang-tulang tengkorak dan tulang hidung, disertai robekan jaringan otak dan perdarahan dalam rongga kepala, semua luka itu disebabkan senjata api).
Namun proses pelaksanaan Hukuman Mati ini masih harus menunggu putusan Hakim memiliki kekuatan hukum tetap. Kuasa Hukum dan Jaksa diberi kesempatan untuk mengajukan Upaya Hukum berupa Banding, Kasasi juga PK. Selain itu Hukuman Mati dalam UU Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP menjadi Pidana Alternatif.
Dikeluarkannya pidana mati dari pidana pokok dan menjadi pidana khusus alternatif menurut Prof. Dr. Barda Nawawi, SH, anggota Tim Penyusun RUU KUHP didasarkan atas tiga pemikiran pokok. Pertama, dilihat dari tujuan pemidanaan pidana mati hakekatnya bukan sarana utama atau pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu ataupun masyarakat. Pidana mati, hanya merupakan sarana pengecualian. Jadi hukuman mati diibaratkan dengan sarana amputasi ataupun operasi di bidang kedokteran yang pada hakekatnya juga bukan obat utama tetapi hanya merupakan obat terakhir. Kedua, konsep pidana mati sebagai pidana khusus bertolak dari ide keseimbangan monodualistik. Ide ini berorientasi pada keseimbangan kepentingan umum atau perlindungan masyarakat dan juga memperhatikan kepentingan atau perlindungan individu. Ketiga, dipertahankannya pidana mati, meskipun sebagai pidana khusus, juga didasari atas ide menghindari tuntutan atau reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam atau bersifat extra-legal execution. Artinya disediakannya pidana mati dalam Undang-undang dimaksudkan untuk menghindari emosi masyarakat.
Selain itu pelaksanaan hukuman mati ditunda dengan masa percobaan 10 tahun. Di dalam penundaan pidana mati itu, dimungkinkan perubahan pidana mati menjadi seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Terpidana juga berhak mengajukan grasi. Sementara pidana mati itu sendiri baru dilaksanakan setelah permohonan grasi itu ditolak Presiden. Apabila grasi ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.
*Dikutip dari berbagai sumber
Oleh: Dr. Hamidah Abdurrachman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *