KUHP Baru sebagai Kebutuhan Hukum Oleh:Tommi Alief Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN
KUHP Baru sebagai Kebutuhan Hukum
Oleh:Tommi Alief Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Pro kontra terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru terus bergulir. Beberapa pasal terus dikritisi. Misalnya pasal yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan sebagainya. Namun dalam melihat KUHP, tentu harus proporsional, tidak secara parsial. Artinya, hanya pasal-pasal tertentu saja yang dianggap bermasalah, lalu untuk men-generalisir keseluruhan KUHP.
Mahasiswa sebagai generasi muda yang intelek, sangat disayangkan jika dengan mudah dengan latah menolak KUHP. Apalagi penolakannya hanya didasarkan pada referensi media sosial yang hanya menkritisi pasal-pasal tertentu.
Banyak masyarakat, termasuk kaum intelektual, yang menolak KUHP hanya karena persoalan pasal-pasal terntentu yang dianggap kontroversial. Padahal sangat mungkin penolak tersebut karena berangkat dari ketidaktahuan substansi lahirnya KUHP baru. Bahkan sampai melahirkan phobia. Tentu hal ini berlebihan.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly menyebutkan bahwa pengesahan KHUP merupakan momen bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan hukum pidana. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk kolonial Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP produk sendiri.
Banyak kritikan bahwa KUHP produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi, perkembangan situasi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Pengesahan RUU KUHP tentu sangat urgent dalam konteks memenuhi kebutuhan hukum pidana saat ini.
Setiap peraturan perundang-undangan tentu memiliki latar belakang. Umumnya latar belakang dapat diketahui dari naskah akademik sebagai analisis fundamental tentang aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis mengapa suatu peraturan perundang-undangan itu diadakan. Naskah akademik sebagai argumentasi tentang arti pentingnya sebuah peraturan perundang-undangan.
Menolak KUHP secara apriori tentu sangat tidak bijak. Lebih baik melakukan kajian akademis melalui diskusi atau dalam forum-forum ilmiah. Spirit lahirnya KUHP harus dilihat secara keseluruhan. Bukan pasal-pasal tertentu saja.
Pasal-pasal yang hingga saat ini dipersoalkan memang hanya sebatas pasal tentang penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran terlarang komunis. Tentu pasal-pasal tersebut telah melalui kajian akademis yang berulang dan komprehensif. Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang tidak sependapat, dapat melakukan judicial review ke Konstitusi (MK).
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh:Tommi Alief Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *