Hukum Adat dalam KUHP Baru Oleh: Dr. Suci Hartati, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN

Hukum Adat dalam KUHP Baru

Oleh: Dr. Suci Hartati, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Hadirnya KUHP baru yang ditetapkan pada Desember 2022 merupakan suatu kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi masyarakat Indonesia disamping rasa syukur atas terlindunginya hukum – hukum yang berlaku di masyarakat. Pola pengembangan dan pembangunan dalam pemikiran KUHP dilakukan dengan menggunakan metode pembahasan clustering atau topik permasalahan berdasarkan karakteristik isu.
Pemerintah telah memaparkan sejumlah substansi pokok KUHP dengan banyak mengadopsi konsep restorative justice. Pembaharuan KUHP harus memperhatikan asas hukum yang telah berlaku universal. Asas hukum mempunyai dua landasan, yaitu asas hukum yang berakar dalam kenyataan masyarakat dan asas yang berakar pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama. Hal yang demikian telah membawa ketentuan – ketentuan yang membuat berkembang dan terangkatnya masyarakat dengan adanya pasal – pasal yang melindungi masyarakat seperti perlindungan terhadap hukum adat yang tertera pada pasal 2 KUHP tentang hukum adat. Hukum adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman yang bersifat jaman luwes, fleksibel sesuai dengan nilai – nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hukum adat adalah sistem hukum yang ada dalam lingkungan kehidupan sosial dan dikenal di beberapa negara, seperti di Indonesia, Tiongkok, Jepang, dan India. Setiap negara tentunya memiliki hukum adat yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hukum adat merupakan hukum asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sumber hukum masyarakat berasal dari berbagai peraturan hukum secara tidak tertulis yang tumbuh, hidup dan berkembang di tengah masyarakat sehingga keberadaan hukum tersebut semakin diakui. Hukum ini dipertahankan keberadaannya, karena adanya kesadaran hukum dari masyarakatnya. Hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sekitar. Dengan kata lain, hukum ini bersifat dinamis. Suatu hukum yang dianut oleh beberapa orang akan mengikat orang-orang tersebut, sehingga mereka akan memiliki hukum adat yang sama.
Bagaimanapun juga, hukum ini diterapkan di kalangan masyarakat karena dipercaya dapat digunakan untuk mengelola dan mempertahankan ketertiban di lingkungan masyarakat. Menariknya, dalam penerapannya secara umum hukum adat akan menghadapi kendala tetapi cukup efsien untuk masyarakat setempat yang memberlakukannya. Bahkan, apabila di kalkulasikan, lebih banyak masyarakat yang patuh dan tunduk pada hukum adat daripada hukum negara.
Keberagaman yang ada dalam hukum adat dapat mempersulit untuk memformulasikan derajat abstraksi suatu undang-undang. Di samping itu, terdapat kelemahan yuridis dalam pengembangan lembaga adat, yaitu:
Belum ada Peraturan Pelaksanaan secara hirakhi perundang-undangan hanya peraturanperaturan Menteri. Misalnya, Permendagri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat. Sementara pada pihak lain, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah tidak termasuk dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sulit mempersatukan norma-norma ideal dan prosedural dari kebhinekaan lembagalembaga adat yang secara otoritas dimiliki oleh setiap masyarakat adat di Indonesia khususnya Papua yang tidak terakomodir dalam UU Organik dan Peraturan Daerah.
Ketidak mampuan legal drafter dalam pembentuk peraturan-peraturan pelaksanaan dari sisi filosofi, Sosiologi, dan yuridis yang tidak memulai dari suatu riset terdahulu yang disebut Naskah Akademik.
Secara hirarki kelemahan aspek hukum pengaturan lembaga adat adalah belum ada peraturan pelaksanaan yang bersifat umum yang menjadi acuan bagi masing-masing daerah. Pengaturan yang bersifat umum ini penting menjadi payung bagi daerah-daerah untuk memperkuat lembaga adat. Peraturan yang bersifat umum haruslah mampu mengakomodasi heteroginitas masyarakat Indonesia. Suatu perundang-undangan secara sosiologi pada dasarnya diharapkan mampu menjadi faktor integratif, tetapi di tengah-tengah masyarakat yang heterogin seperti Indonesia, tujuan tersebut sulit dicapai. Keberagaman nilai, budaya, dan kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat tidak jarang subsrtansinya bertentangan satu sama lain, sehingga sulit untuk pengaturan secara seragam. (Bersambung).
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dr. Suci Hartati, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *