Menyoal Vonis Mati Ferdy Sambo Oleh: Salsabila Layli Maksumah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN

Menyoal Vonis Mati Ferdy Sambo

Oleh: Salsabila Layli Maksumah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Tanggal 13 Februari 2023, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis pidana mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo atas perbuatannya pada kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Namun dalam kasus Ferdy Sambo ini, vonis yang dijatuhkan dalam sidang tingkat pertama tersebut masih lemah. Sehingga dari pihak Ferdy Sambo masih dapat melakukan upaya hukum berupa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, bahkan dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Ada beberapa alasan mengapa vonis dalam sidang tingkat pertama dianggap lemah salah satunya yaitu dikarenakan pertimbangan dalam memberikan vonis pidana mati Ferdy Sambo hanya yakin terhadap keterangan yang diberikan oleh salah satu saksi yaitu Bharada E yang merupakan Justice Collaboration, sehingga menjadi fakta dalam persidangan. Majelis hakim pun yakin untuk menjatuhkan pidana dan tidak mempertimbangkan atau mengujinya lagi dengan menggunakan keterangan saksi, ahli dan bukti-bukti lainnya. Hal tersebut dianggap bahwa keterangan saksi dari Bharada E dianggap berdiri sendiri.
Sedangkan dalam sistem hukum acara pidana dikenal asas unus testis nullus testis, jika keterangan saksi hanya berdiri sendiri tanpa dukungan alat bukti lainnya maka tidak memiliki kekuatan pembuktian. Hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mana isinya yaitu disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah: 1) Keterangan Saksi; 2) Keterangan Ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; dan 5) Keterangan Terdakwa.
Kelima unsur alat bukti ini, dalam unsur keterangan saksi, kesaksian minimal harus disampaikan oleh 2 (dua) orang saksi. Selain itu juga seluruh unsur alat bukti harus berkaitan atau bersesuaian, yang mana 2 (dua) orang saksi atau lebih tersebut memiliki keterangan yang bersesuaian dengan alat bukti surat yang ada sehingga memberikan petunjuk yang merupakan juga unsur dalam alat bukti pada hukum pidana.
Lemahnya vonis yang diberikan dalam sidang tingkat pertama dan masih belum memiliki kekuatan hukum tetap atau ingkrah, maka Ferdy Sambo berhak melakukan upaya hukum. Dilihat juga dari mana cara pengambilan keputusan Hakim Pengadilan Negeri dalam sidang pertama dan Pengadilan tinggi saat mengajukan banding, masih menggunakan Judex Facti atau berdasarkan fakta. Sedangkan hakim dalam Mahkamah Agung cara mengambil keputusan yaitu dengan Judex Jurist, yaitu hakim akan memeriksa penerapan hukum, apakah ada kekeliruan dalam penerapan hukum di pengadilan judex factie. yang digunakan dan diputuskan oleh hakim – hakim PN dan PT apakah telah sesuai atau belum. Hakim MA sudah tidak memeriksa fakta peristiwa hukum atau perbuatan hukum, tapi menilai benar atau tidaknya penerapan hukum dalam putusan Judex Factie, maka dari itu pidana untuk Ferdy Sambo pun dapat pula berubah menjadi lebih ringan.
Lalu sumber hukum apa yang digunakan untuk memvonis Sambo? Hakim PN Jakarta Selatan dalam sidang pertama, pidana yang diberikan kepada Ferdy Sambo ini masih menggunakan KUHP yang lama. KUHP baru belum bisa diterapkan pada kasus Sambo. Sebab tindak pidana yang dilakukan Sambo terlebih dahulu dibanding disahkannya KUHP baru. Hal ini tentunya terkait dengan asas legalitas. Pidana mati untuk Sambo mengikuti KUHP yang lama. Karena selain perbuatannya terlebih dahulu dari pengesahan KUHP, KUHP baru juga mulai berlaku 3 tahun setelah diundangkan yaitu tahun 2025.
Apabila Ferdy Sambo mengajukan upaya hukum berupa banding, jika putusan banding sama dengan putusan pengadilan negeri, maka Ferdy Sambo masih memiliki hak untuk melakukan upaya hukum kasasi. Putusannya juga bisa menguatkan atau merubah. Setelah itu ada pula upaya hukum peninjauan kembali. Jika peninjauan kembali ditolak maka masih ada upaya hukum lagi yaitu mengajukan grasi ke Presiden. Hal tersebut pastinya membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga apabila pada waktu dimana KUHP baru sudah mulai berlaku yaitu pada tahun 2025 dan kasus Ferdy Sambo ini belum selesai atau belum mendapatkan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap maka terdapat kemungkinan dalam mengambil putusan menggunakan KUHP baru.
Indonesia menganut asas transitoir yaitu apabila undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Sehingga apabila terdakwa divonis menggunakan KUHP baru maka tidak akan langsung dieksekusi mati, tetapi sesuai dalam Pasal 100 KUHP baru bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan: rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Salsabila Layli Maksumah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *