Membumikan Kesalehan Profetik bagi Pejabat Negara Oleh: Bha’iq Roza Rakhmatullah , S.H., M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN

Membumikan Kesalehan Profetik bagi Pejabat Negara

Oleh: Bha’iq Roza Rakhmatullah , S.H., M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Seorang mistikus Islam dari Gangga, Abdul Quddus berkata: “Nabi Muhammad dari jazirah Arab ke Mi’raj, ke langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah aku bersumpah, jika sekirannya aku sampai mencapai titik itu, pastilah sekali-kali aku tidak akan kembali ke Bumi”.
Pernyataan diatas diungkapkan oleh Abdul Quddus untuk menunjukan sikap seorang sufi yang tidak memiliki kepedulian sosial, sikap seorang beragama yang hanya mementingkan keasyikan dan keterlenaan dalam pengalaman mistik transendental. Sikap tersebut, tentu berlawanan dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad yang memilih kembali ke Bumi, karena Nabi sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial yang hidup dengan realitas sosial kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformasi sosial.
Kesalehan profetik adalah cara bertauhid sosial, sebuah cara beragama membumikan tauhid yang dianggap melangit dan jauh dari realitas kehidupan manusia dengan membuat konsep baru yaitu tauhid sosial. Iman seseorang jika tidak disertai amal salih adalah kosong. (M. Amien Rais, 1998). Dalam pandangan kesalehan profetik, manusia harus memiliki kesadaran kenabian yang berupaya melakukan transformasi sesuai dengan kompetensi masing-masing, mengaktualkan potensi menjadi eksistensi, sehingga kedudukan manusia sebagai khalifah yang memberikan kebahagian terhadap sesama maupun alam.
Menjadi pejabat negara merupakan wadah aktualisasi manusia dalam membumikan kesalehan profetik. Merujuk dari Hadis Arbain ke-34 yang artinya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman’. Dalam konteks hadits tersebut, menjadi pejabat negara merupakan privilege, karena memiliki kesempatan untuk merubah keadaan dengan tanggannya, yaitu kekuasaan dengan melekatnya kewenangan yang hanya dimilikinya yang tidak akan dia miliki seandainya tidak menjadi pejabat negara.
Realitanya, saat ini berbagai media mempertontonkan kekayaan dan gaya hidup hedon dari pejabat negara daripada penggunaan kewenangannya yang mencerminkan kesalehan profetik. Diantaranya Rafael Alun Trisambodo pejabat negara Kementerian Keuangan yang memiliki harta kekayaan yang berjumlah Rp56 miliar. Kemudian, Potret Olivia Istri Pejabat Setneg Esha Rahmanshah dan Vidya Piscarista Istri Pejabat BPN yang Suka Pamer Gaya Hidup Mewah. Apakah salah seseorang memiliki kekayaan berlimpah?
Dalam konsepsi islam memandang bahwa kekayaan haruslah dimiliki oleh seorang muslim. Dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW Bersabda “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dibandingkan mukmin yang lemah”. Akan tetapi yang perlu diingat adalah konsepsi kepemilikan harta kekayaan perlu dilakukan dengan baik dan benar.
Rasulullah SAW Bersabda, “setidaknya ada empat yang pasti akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, diantarannya adalah mengenai harta kekayaan, yang akan dimintakan pertanggungjawaban yaitu dari mana kita memperolehnya dan untuk apa kita belanjakan “.
Kemudian, yang perlu dipahami terhadap kekayaan yang dimiliki tidaklah untuk disombongkan, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Luqman Ayat 18:”Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”.
Membumikan kesalehan profetik bagi pejabat negara merupakan manifesto pertanggungjawaban ketauhidan sosial manusia kepada Tuhan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Iqbal (1978), “Tuhan telah mengambil resiko dengan menunjukn kepercayaan kepada manusia dan sekarang bagi manusia adalah menjaga kepercayaan itu“. Saatnya hakikat pejabat negara dikembalikan kepada fitrahnya, yaitu melakukan kerja-kerja untuk melayani pubilik dalam rangka menuju negara yang rakyatnya sejahtera, bukan malah pejabat negaranya saja yang sejahtera.
Oleh: Bha’iq Roza Rakhmatullah, S.H., M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *