Makna Idulfitri yang Terlupakan Oleh: Dr. Achmad Irwan Hamzani , Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN

Makna Idulfitri yang Terlupakan

Oleh: Dr. Achmad Irwan Hamzani , Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
Ada makna Idulfitri (tulisan dalam Bahasa Indonesia)/’id al-fihr (translate dari Bahasa Arab) yang jarang disebutkan. Makna dari Idulfitri dapat merujuk pada sebuah hadits yang menyebutkan: “al-fithru yauma yufthiru al-naas wa al-adha yauma yudahhii al-naas (Disebut Idulfitri karena pada hari itu orang-orang makan, dan disebut Iduladha karena pada hari itu orang-orang mengorbankan binatang ternak”). (H.R. al-Turmudzi).
Secara etimologi, kata fithri dalam Idulfitri dengan merujuk pada hadits di atas, adalah bermakna futhur. Kata futhur diambil dari kata al-fithr yang artinya makan atau berbuka. Kata fithri bukan diambil diambil dari kata al-fithrah yang berarti kesucian atau sifat-sifat manusia ketika diciptakan pertama kali.
Berdasarkan hadits di atas, hari raya Idulfitri adalah hari raya manusia makan atau “kembali makan”, dan diharamkan berpuasa. Makan merupakan kebutuhan primer sehingga wajib. Sebab, manakala manusia tidak makan dapat membahayakan kehidupannya.
Pemaknaan Idulfitri dengan merujuk hadits Nabi sebagai “hari diharuskan makan atau hari raya makan” juga sejalan dengan kewajiban zakat fitrah yang biasa dikeluarkan malam Idulfitri. Zakat fitrah merupakan zakat yang bernilai konsumtif berupa makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin dengan tujuan agar mereka di hari Idulfitri tidak ada yang kekurangan makan, apalagi sampai tidak memiliki makanan. Sebab, di hari raya Idulfitri diharuskan makan karena haram menjalankan puasa.
Ketika umat Islam tidak makan dengan berpuasa, berarti sedang menjalankan perintah Allah Swt. dengan penuh ketaatan, sehingga bernilai ibadah. Sebaliknya, ketika manusia makan alias tidak berpuasa, dan menjalankannya juga karena menaati perintah Allah Swt. dalam rangka memenuhi kebutuhan primer, maka makan juga sebagai ibadah. Pada tanggal 1 Syawal, umat Islam justru diharamkan berpuasa, dan harus makan.
Namun demikian, pemaknaan yang popular di masyarakat adalah Idulfitri sebagai “kembali suci”. Penerjemahan ini paling banyak dilakukan oleh umat Islam khususnya di Indonesia dengan menganggap kembali ke fithrah (suci) alias tidak punya dosa setelah berpuasa satu bulan lamanya. Bahkan menganggap kembali seperti bayi yang baru lahir, tidak punya dosa. Dosa-dosa yang pernah dilakukan selama satu tahun, terhapuskan dengan puasa dan ibadah-ibadah lain yang dikerjakan di bulan Ramadhan.
Asumsi ini sebenarnya dapat berdampak negatif. Orang merasa puas dengan ibadah yang telah dikerjakan selama Ramadhan, dan mereka merasa tidak punya dosa lagi. Seandainya melakukan dosa-dosa lagi seperti korupsi, menipu, menyuap, dan sebagainya, tidak ada beban, sebab nanti akan terhapus lagi dengan hadirnya Idulfitri, yaitu kembali suci dari dosa.
Adapula sebagian masyarakat yang memaknai Idulfitri sebagai hari kemenangan. Banyak acara khususnya di TV diadakan dengan tema ”Merayakan Hari Kemenangan”. Terkadang pembawa acara dengan semangatnya mengatakan ”Mari kita rayakan hari kemenangan”, meskipun belum tentu pembawa acara tersebut menjalankan puasa.
Asumsi pemaknaan Idulfitri sebagai ”Hari Kemenangan” juga berdampak negatif. Orang merasa telah menang melawan hawa nafsu. Padahal sulit sekali seseorang untuk menang melawan hawa nafsu yang merupakan rayuan setan. Apabila yang dimaksud menang melawan hawa nafsu selama puasa dari nafsu makan, minum dan hal-hal lain yang membatalkan puasa, agak relevan. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak puasa yang juga ikut merayakan Hari Raya Idulfitri atau Hari Kemenangan?
Apabila merujuk pada sumber primer ajaran agama Islam; al-Qur’an dan hadits, tidak ada rujukan yang mengajarkan seorang Muslim merasa suci. Sebaliknya, orang yang merasa berdosa itulah yang baik. Islam mengajarkan; yang paling baik adalah mereka yang selalu mengingat kesalahannya, dan yang paling buruk adalah mereka yang melupakan kesalahannya.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dr. Al Hamzani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *