NEWS
Bingkisan Lebaran, Apakah Gratifikasi?
Oleh: Anggun Intan Nur Amalia, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancaskti Tegal.
Umat Islam di seluruh dunia baru saja merayakan Hari Raya Idulfitri 1444 H., atau dalam istilah lain disebut Lebaran. Bagi masyarakat Islam Indonesia, lebaran merupakan sebuah kegiatan yang dijalankan secara rutin. Terdapat sebuah tradisi yang telah menjadi kebiasaan, yaitu silaturahmi. Perayaan lebaran dipenuhi dengan suasana kebersamaan, saling memaafkan, berkumpul dengan keluarga dan kerabat, serta menikmati hidangan khas seperti ketupat, lontong, dan opor.
Tradisi yang sudah menjadi kebiasaan adalah berkunjung ke rumah-rumah sanak saudara, tetangga, bahkan pejabat atau tokoh masyarakat. Mengunjungi rumah orang lain sudah menjadi tradisi yang dijalankan rutin pada saat lebaran. Biasanya para tamu membawa bingkisan atau oleh-oleh untuk pemilik rumah yang dikunjungi.
Memberikan oleh-oleh atau bingkisan pada Hari Raya Idulfitri atau Lebaran merupakan hal yang biasa dan menjadi bagian dari nilai-nilai keramahan dalam budaya timur. Apabila merujuk pada hal ini secara tepat, maka budaya ini tidak boleh dihapuskan, kecuali jika pemberian oleh-oleh tersebut mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan kepentingan individu untuk mempercepat proses tender, kenaikan pangkat, atau mendapatkan keuntungan pribadi oleh pejabat publik. Sehingga dalam menanggapi masalah gratifikasi, perlu dilakukan dengan hati-hati dan tidak boleh langsung menggeneralisasi semua pejabat sebagai pelaku gratifikasi. Gratifikasi sendiri menjadi bagian dari budaya bangsa yang dianggap sebagai kejahatan.
Pada saat Hari Raya Idulfitri, seringkali dimanfaatkan untuk memberikan hadiah atau bingkisan yang dapat mendorong praktik gratifikasi, seperti memberikan hadiah atau fasilitas kepada seseorang yang dikenal dengan sebutan “ucapan terima kasih”, “uang lelah”, atau “uang damai”. Hal ini dianggap sebagai hal yang wajar dilakukan. Upaya mencegah dan memberantas gratifikasi harus dilakukan melalui penguatan kelembagaan yang fokus pada meningkatkan kapasitas kelembagaan birokrasi, menegakkan aturan dengan konsisten, serta mengawasi pelaksanaannya secara ketat oleh atasan untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi.
Perubahan dalam makna gratifikasi bagi pegawai negeri, penyelenggara negara, dan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengaruh dalam suatu hal, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat Indonesia. Negara-negara lain juga memiliki definisi gratifikasi yang berbeda, beberapa negara mengaturnya secara rinci dengan menyebutkan jenis pemberian atau fasilitas. Sedangkan yang lain hanya mencantumkan pemberian dalam artian yang lebih luas. Perbedaan definisi ini menyebabkan penafsiran yang berbeda-beda mengenai gratifikasi.
Bagi masyarakat Indonesia, nilai budaya saling memberi telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan memiliki nilai-nilai yang luhur sebelum adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Makna gratifikasi dalam nilai budaya Indonesia masih menimbulkan pertanyaan besar, terutama karena praktik saling memberi dan menerima ini dilindungi oleh ketentuan hukum wilayah adat di Indonesia. Diperlukan pendefinisian yang lebih seragam dan penguatan kelembagaan untuk mencegah dan memberantas praktik gratifikasi. Tradisi masyarakat Indonesia memandang bahwa budaya tersebut adalah suatu bentuk penghargaan, penghormatan, persembahan terhadap seseorang yang telah berpengaruh dan berjasa baik dalam suatu kelompok atau etnis masyarakat.
Adat yang dimaksud merupakan warisan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun dan mencerminkan semangat gotong-royong di Indonesia yang telah berlangsung lama. Meski begitu, tradisi tersebut dapat memungkinkan terjadinya tindakan korupsi yang melibatkan unsur-unsur budaya tertentu, yang dapat dimanfaatkan oleh oknum untuk memperkaya diri atau membangun dinasti mereka sendiri (lingkaran setan) demi mempertahankan kekuasaan mereka, terutama dalam hal politik dan jabatan. Namun, tidak selalu ada unsur kejahatan dalam celah-celah tersebut.
Perbuatan memberi bingkisan yang sering disalah artikan menjadi suap yang berasal dari budaya-budaya positif dalam masyarakat, seperti acara sukuran, dapat dimanfaatkan sebagai sarana politik untuk memperoleh dukungan atau perhatian dari masyarakat. Karena sulit untuk mengetahui motif dan tujuan seseorang, ini dapat dimanfaatkan oleh oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab, yang menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi tidak cukup efektif dalam mengatasi masalah gratifikasi yang bertujuan untuk memperkaya diri atau memperoleh dukungan dari masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam undang-undang tersebut.
Secara hukum, gratifikasi sebenarnya tidak menjadi masalah. Ini hanya merupakan tindakan memberikan hadiah atau hibah kepada orang lain, yang diizinkan. Namun, seiring dengan perkembangan budaya dan pola hidup, arti gratifikasi mulai menjadi dua makna yang berbeda. Karena cakupan gratifikasi yang luas, ada banyak kesulitan dalam mengidentifikasi bahwa pemberian tersebut termasuk dalam tindakan korupsi.
Penting untuk membedakan gratifikasi dan suap tergantung pada keberadaan atau tidaknya kesepakatan pada saat penerimaan. Suap, di dalamnya terdapat kesepakatan antara pemberi dan penerima suap. Sedangkan dalam gratifikasi tidak ada kesepakatan antara pemberi dan penerima. Kesepakatan ini juga dikenal sebagai meeting of mind atau konsensus yang bersifat transaksional. Gratifikasi sering diberikan sebagai bentuk balas budi atau ucapan terima kasih atas bantuan yang diberikan.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Anggun Intan Nur Amalia, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancaskti Tegal.