GAGASAN
Syawal, Bulan Kebaikan Bertumbuh
Oleh: Dr. Achmad Irwan Hamzani Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
Hari Raya Idulfitri 1444 H., atau lebaran baru saja usai. Lebaran merupakan momen kebahagiaan setelah umat Islam sebulan menunaikan ibadah puasa. Meskipun tidak ada kepastian apakah ibadahnya diterima atau tidak, dan apakah di tahun mendatang masih bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan atau tidak.
Bulan Syawal merupakan lembaran baru bagi umat Islam setelah menjalan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain selama Ramadhan. Sebagian salafus shalih berdoa selama enam bulan sejak Syawal hingga Rabiul Awal. Mereka berdoa agar ibadahnya selama bulan Ramadhan diterima, lalu dari Rabiul Awal hingga sya’ban berdoa agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Syawal arti harfiahnya adalah peningkatan. Demikianlah seharusnya. Pasca Ramadhan, diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat taqwa, menjadi muttaqin. Hingga mulai bulan Syawal kualitasnya meningkat. Kualitas ibadah, juga kualitas diri seseorang. Padahal kemuliaan seseorang tergantung pada ketaqwaannya: …Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu ialah orang yang paling bertaqwa…) (QS. Al-Hujurat : 13)
Jangan sampai sebaliknya, Syawal menjadi bulan penurunan. Penurunan ibadah, juga penurunan kualitas diri. Indikator yang sangat jelas adalah perayaan Idulfitri dengan aneka hiburan yang justru mengarah pada kemaksiatan, dan justru langsung ramai sejak hari pertama bulan Syawal. Masjid-masjid akan kembali sepi dari jamaah shalat lima waktu. Umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali “membudaya”. Hal ini bertolak belakang dengan arti Syawal.
Fenomena itu sesungguhnya juga menunjukkan bahwa puasa orang yang demikian tidak berhasil. Tidak mampu mengantarkan seseorang meraih derajat taqwa, atau mendekatinya. Fenomena itu menjadi indikator yang mudah diketahui oleh siapa saja yang mau memperhatikan dengan seksama.
Lalu bagaimana amal seorang muslim di bulan Syawal? Harus ada peningkatan ibadah di bulan Syawal. Peningkatan ibadah berangkat dari sikap istiqamah. Bentuk sikap istiqamah ini dalam amal adalah dengan mengerjakannya secara kontinyu, terus-menerus.
Amal yang telah kita biasakan di bulan Ramadhan, hendaknya tetap dipertahankan selama bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Tilawah yang setiap hari, shalat malam yang sebelumnya dilakukan, di bulan Syawal hendaknya terus dilakukan. Infaq dan shadaqah yang biasa dilakukan selama Ramadhan, juga harus dipertahankan. Demikian pula nilai-nilai keimanan keikhlasan dan kejujuran yang tumbuh kuat di bulan Ramadhan.
Penurunan amal di bulan Syawal merupakan hal yang seharusnya dihindarkan. Justru seharusnya, sesuai dengan makna syawal, amal harus mengalami peningkatan dengan berupaya istiqamah serta meningkatkan kualitas ibadah. Ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan juga harus dapat merubah dan memberikan output yang positif. Perubahan pribadi, perubahan keluarga, perubahan masyarakat dan perubahan sebuah bangsa. Artinya; latihan yang dilakukan selama Ramadhan guna memperoleh derajat takwa dapat membekas, dapat terimplementasi dalam kesadaran kehidupan beragama.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Dr. Al Hamzani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.