GAGASAN
Staycation dan Kekerasan Seksual
Oleh: Dr. Hamidah Abdurrachman , Dosen Fakultas Hukum Universiatass Pancasakti Tegal
Staycation adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan liburan atau waktu luang yang dihabiskan di rumah atau di sekitar area tempat tinggal seseorang. Kata “staycation” berasal dari gabungan kata “stay” (tinggal) dan “vacation” (liburan). Dalam staycation, seseorang memilih untuk tidak bepergian jauh atau menghabiskan waktu di tempat-tempat liburan tradisional, seperti hotel atau resor, dan lebih memilih untuk tetap berada di rumah atau menjelajahi objek wisata di sekitar wilayah tempat tinggal mereka.
Staycation sering kali dipilih oleh orang-orang yang ingin beristirahat dan melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari tanpa harus melakukan perjalanan jauh atau mengeluarkan biaya yang tinggi. Ini dapat menjadi pilihan yang nyaman dan ekonomis untuk memperoleh waktu untuk bersantai, menjelajahi tempat-tempat lokal, atau menikmati fasilitas dan kegiatan di sekitar lingkungan mereka. Selama staycation, seseorang dapat mengisi waktu luang dengan berbagai aktivitas, seperti bersantai di rumah, menonton film, membaca buku, atau mengunjungi tempat-tempat menarik di sekitar kota mereka, seperti museum, taman, restoran, atau tempat hiburan. Staycation juga dapat melibatkan menginap di hotel atau penginapan lokal sebagai cara untuk mengubah suasana tanpa harus melakukan perjalanan jauh.
Baru-baru ini dunia maya heboh dengan istilah staycation yang dikaitkan dengan persyaratan perpanjangan kontrak karyawan perusahaan. Praktik seperti ini bukan barubaru saja terjadi, namun sudah berlangsung lama dan diduga dilakukan oleh banyak perusahaan lain. Bahkan dalam scope yang lebih rendah, seorang mandor/supervisor dapat melakukan hal tersebut kepada buruh/karyawan dengan berbagai bentuk ancaman.
Hak-Hak Buruh
Hubungan tenaga kerja dan buruh adalah hubungan antara pekerja (karyawan) dengan pemberi kerja (perusahaan atau majikan) di lingkungan kerja. Dalam hubungan ini, pemberi kerja memiliki wewenang untuk mengatur persyaratan, kondisi kerja, dan gaji yang diberikan kepada karyawan. Namun, penting untuk diingat bahwa hubungan tenaga kerja yang sehat dan adil adalah kunci bagi keberhasilan perusahaan dan kesejahteraan karyawan.
Ada kemungkinan pemberi kerja menempatkan persyaratan yang merugikan karyawan. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti upah dan gaji yang tidak adil, pemberi kerja menerapkan tingkat upah atau gaji yang rendah, di bawah standar yang wajar atau tidak memenuhi persyaratan perundangan, jam kerja yang berlebihan, pemberi kerja memaksa karyawan untuk bekerja melebihi jam kerja yang diatur, tanpa memberikan kompensasi yang sesuai seperti lembur, kondisi kerja yang tidak aman atau tidak sehat juga pemberi kerja tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja yang ditetapkan, sehingga mengancam kesejahteraan dan keselamatan karyawan. Selain itu Buruh/Karyawan mendapatkan perlakuan yang sangat ironis, seperti pelecehan seksual, melayani makan minum atasan sampai kepada ajakan tidur bersama. Tak jarang mereka juga mengalami diskriminasi Pemberi kerja memperlakukan karyawan secara tidak adil berdasarkan faktor seperti jenis kelamin, ras, agama, atau orientasi seksual.
Kalau kita melihat Hak Karyawan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: seorang karyawan berhak mendapatkan Hak dasar untuk memperoleh upah yang layak. Hak untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dari perusahaan tanpa diskriminasi. Hak untuk mendapatkan pelatihan kerja untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja. Hak untuk melaksanakan kerja sesuai waktu yang ditentukan: Tujuh jam dalam satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau delapan jam dalam satu hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu. Hak atas penempatan tenaga kerja. Hak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja. Hak mendapatkan kesejahteraan melalui jaminan sosial tenaga kerja. Hak ikut serta dalam serikat pekerja atau buruh. Hak mendapatkan cuti: Sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah karyawan bekerja selama satu tahun secara terus menerus. Hak istirahat: Pekerja setelah bekerja empat jam terus menerus, mendapat kesempatan istirahat selama minimal setengah jam. Hak cuti melahirkan dan cuti haid khusus karyawan perempuan: Satu setengah bulan sebelum melahirkan serta hari pertama dan kedua saat masa haid. Hak melaksanakan ibadah. Hak melakukan mogok kerja. Hak mendapatkan pesangon apabila terjadi pemutusan hubungan kerja atau PHK. yang menjadi objek utama perlindungan tenaga kerja adalah: Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja untuk berunding dengan pengusaha dan mogok kerja. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan khusus bagi pekerja atau buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja. Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 88 dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), ditetapkan bahwa yang merupakan hak-hak bagi para pekerja termasuk pekerja PKWT diantaranya seperti penghidupan yang layak dan upah. Selain itu, dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK (PP PKWT), ditetapkan bahwa hak lain yang wajib diberikan pengusaha kepada para pekerja PKWT adalah hak atas Pesangon.
Staycation dan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah perilaku yang tidak dapat diterima dan melanggar hak asasi manusia dan melamnggar hukum. Alasan atau motivasi seseorang melakukan pelecehan seksual dapat bervariasi, tetapi tidak ada alasan yang dapat membenarkan atau memaklumi tindakan tersebut. Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi terhadap perilaku pelecehan seksual oleh atasan di tempat kerja meliputi:
Penyalahgunaan kekuasaan: Atasan sering kali memiliki kekuatan dan kontrol yang lebih besar dalam hubungan kerja. Penyalahgunaan kekuasaan ini dapat menyebabkan perilaku pelecehan seksual sebagai bentuk dominasi atau kontrol yang tidak etis.
Ketidaksetaraan gender: Budaya yang masih mempertahankan ketidaksetaraan gender atau pandangan yang merendahkan peran dan martabat perempuan dapat menciptakan lingkungan di mana pelecehan seksual lebih mungkin terjadi. Pandangan seperti ini dapat dipengaruhi oleh prasangka gender, stereotip negatif, atau dominasi maskulinitas yang merugikan perempuan.
Lingkungan kerja yang tidak mendukung yang tidak memprioritaskan keselamatan, kesehatan, atau perlindungan terhadap pelecehan seksual dapat memberikan kesempatan bagi perilaku tersebut. Ketika budaya organisasi tidak menghargai integritas dan mengabaikan keluhan atau laporan pelecehan, maka atasan mungkin merasa dapat bertindak dengan impunitas.
Gangguan kejiwaan atau masalah pribadi: Beberapa individu yang melakukan pelecehan seksual mungkin memiliki masalah pribadi atau gangguan kejiwaan yang mempengaruhi perilaku mereka. Meskipun demikian, hal ini tidak dapat membenarkan atau memaklumi tindakan tersebut, dan tanggung jawab tetap ada pada individu untuk mencari bantuan dan mengendalikan perilaku mereka.
Pada April 2011, Menteri Tenaga Kerja RI menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Pedoman ini memberi pengertian pelecehan seksual sebagai berikut: segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi.
Modus perpanjangan kontrak dengan staycation sudah mengarah kepada ancaman kekerasan bagi karyawan yang seharusnya ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Dengan berlakunya UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah memberikan jaminan yang lebih lengkap bagi kejahatan Kekerasan seksual termausk perlindungan korban.
Sejak diundangkan tanggal 9 Mei 2022, UU TPKS ini adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan seksual, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku serta mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual. Tindak Pidana Kekerasan Seksual antara lain terdiri dari : Pelecehan Seksual Nonfisik, Pelecehan Seksual Fisik, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Sterilisasi, Pemaksaan Perkawinan, Penyiksaan Seksual, Eksploitasi Seksual, Perbudakan Seksual dan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik. Selain itu bentuk kekerasan seksual meliputi pemerkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak, dan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.
Berkaitan dengan staycation apabila hal tersebut belum terjadi, maka tergolong sebagai kekerasan seksual nonfisik, yang dimaksud dengan perbuatan seksual nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara dan denda maksimal Rp 10 juta. Adapun kekerasan seksual secara fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta.
Terhadap korban pada Pasal 68 UU TPKS, hak korban atas penanganan dijabarkan: hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, pelindungan, dan pemulihan; hak mendapatkan dokumen hasil penanganan; hak atas layanan hukum; hak atas penguatan psikologis; hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis; hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban; dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Kemudian, merujuk Pasal 69, hak korban atas pelindungan mencakup: penyelenggaraan pelindungan; pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan; pelindungan atas kerahasiaan identitas; pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban; pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan. Sementara, hak korban atas pemulihan dijabarkan dalam Pasal 70 Ayat (1), meliputi: rehabilitasi medis; rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan sosial; restitusi dan/atau kompensasi; dan reintegrasi sosial.
Oleh: Dr. Hamidah Abdurrachman, Dosen Fakultas Hukum Universiatass Pancasakti Tegal