Perlindungan Hukum bagi Whistleblower Oleh: Irfa Khunainah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

GAGASAN

Perlindungan Hukum bagi Whistleblower

Oleh: Irfa Khunainah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”. Disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Istilah “peniup peluit” diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.
Adapun pengertian whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Definisi whistleblower juga tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Aturan ini menyebut whistleblower sebagai pelapor tindak pidana. Menurut SEMA tersebut, whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain. Sementara itu, menurut Mardjono Reksodiputro, arti whistleblower adalah orang yang membocoran rahasia atau pengadu.
Floriano C. Roa menyebut, ada dua jenis pelaporan yang dapat dilakukan whistleblower, yakni: Pertama, pelaporan dalam lingkup internal: Pelaporan yang disampaikan langsung kepada atasan yang ada di dalam ruang lingkup lingkungan yang sama dengannya (misalnya, perusahaan atau instansi pemerintahan). Kedua, pelaporan dalam lingkup eksternal: pelaporan yang disampaikan kepada individu, badan pengawas, atau pihak eksternal lain terkait kegiatan ilegal atau immoral dalam perusahaan atau instansinya (misalnya, kepada kepolisian).
Kecurangan dan kejahatan dalam suatu instansi maupun lembaga sering kali kerap terjadi dan semakin berkembang di Indonesia. Namun yang lebih menghawatirkan adalah pelaku yang masih bebas berinteraksi karena pengaruh kekuasaannya lebih besar sehingga tidak ada yang berani mengadukannya. Untuk dapat mengungkap kecurangan dan kejahatan tersebut, perlu adanya peran pihak dalam dari instansi atau lembaga bersangkutan yang berani untuk memberikan informasi kepada penegak hukum. Pihak ini dinamakan dengan istilah pengungkap fakta atau whistleblower.
Saat ini, sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower di Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan secara luas di lembaga-lembaga pemerintahan atau lembaga negara, institusi-institusi publik atau sektor swasta. Hal ini sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan beberapa negara di Eropa yang sudah lama menerapkan sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower.
Indonesia sendiri memiliki beberapa lembaga negara yang telah mulai mengembangkan sistem pelaporan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Yudisial (KY), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Kejaksaan, sedangkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih dalam tahap pembangunan system.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memiliki system pelaporan dan perlindungan pelapor. Melalui situsnya, kws.kpk.go.id telah membuat sistem pelaporan, yaitu bagi masyarakat yang ingin melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Melalui program atau system pelaporan whistleblower yang dikembangkan, KPK menyajikan saluran komunikasi khusus dengan whistleblower atau dikenal dengan whistleblower dan pihak KPK dapat saling berkomunikasi dengan sistem yang cukup menjamin kerahasiaan whistleblower dan laporan yang disampaikan. Program atau system pelaporan whistleblower sebenarnya tidak hanya terkait dengan system pelaporan, melainkan juga sistem perlindungan. System perlindungan terhadap whistleblower, baik secara fisik maupun non fisik, perlu diperhatikan dan benar. Bentuk perlindungan terhadap whistleblower sangat tergantung pada sejauh mana suatu lembaga yang menanganinya.
Bentuk Perlindungan Hukum Whistleblower
Dasar perlindungan terhadap whistleblower, terutama perlindungan hukum tertera dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang ini menjadi angin segar bagi whistleblower untuk benar-benar mengungkap fakta terjadinya suatu tindak pidana tanpa terbebani oleh kasus hukum yang mungkin menjeratnya karena telah melaporkan tindak pidana. Mengacu pada undang-undang tersebut, whistleblower atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Jika terdapat tuntutan hukum terhadap whistleblower atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Undang-undang ini dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. SEMA tersebut menjadi pedoman bagi perlindungan status hukum dan pelaksanaan ketentuan perlindungan hukum whistleblower yang tertuang di dalam UU Nomor 13 Tahun 2006. Berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2011, terdapat sejumlah kriteria bagi seseorang agar dapat disebut whistleblower, yakni yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
*Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Irfa Khunainah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *